Mencoreng Nama Baik Sukarno, Begini Sejarah dan Isi TAP MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967

Rabu, 11 September 2024 15:05 WIB

Soekarno Presiden pertama Indonesia di Jakarta, saat para fotografer meminta waktu untuk memfotonya Presiden Sukarno tersenyum, dengan mengenakan seragam dan topi, sepatu juga kacamata hitam yang menjadi ciri khasnya. Sejarah mencatat sedikitnya Tujuh Kali Soekarno luput, Lolos, Dan terhindar dari kematian akibat ancaman fisik secara langsung, hal yang paling menggemparkan adalah ketika Soekarno melakukan sholat Idhul Adha bersama, tiba tiba seseorang mengeluarkan pistol untuk menembaknya dari jarak dekat, beruntung hal ini gagal. (Getty Images/Jack Garofalo)

TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Pertama RI Sukarno dikenal sebagai seorang proklamator kemerdekaan Indonesia. Di sisi lain, namanya juga tercoreng akibat terbitannya Ketetapan atau TAP MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintah Negara dari Presiden Sukarno. Beleid itu secara tersirat menuding Bung Karno, sapaan Sukarno, terlibat agenda pemberontakan Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia atau G30S/PKI.

Terkini, Majelis Permusyawaratan Rakyat atau MPR RI resmi mencabut ketetapan tersebut. Surat pencabutan dari pimpinan MPR RI itu telah diserahkan Ketua MPR RI Bambang Soesatyo kepada keluarga Bung Karno, di antaranya Presiden Kelima RI Megawati Soekarnoputri, Guntur Soekarnoputra, Sukmawati Soekarnoputri, dan Guruh Soekarnoputra.

“Saudara-saudara yang hadir pada pagi hari ini akan menjadi saksi sejarah secara langsung untuk mengikuti acara penyerahan surat pimpinan MPR RI kepada Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia serta kepada keluarga besar Bung Karno,” kata Bamsoet, sapaan karib Bambang Soesatyo, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin, 9 September 2024, dikutip Antara.

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia atau Menkumham Supratman Andi Agtas mengatakan tuduhan keterlibatan Sukarno dengan gerakan pemberontakan PKI pada penghujung September 1965 itu tidak terbukti setelah TAP MPRS Nomor 33 Tahun 1967 tidak berlaku lagi. Selain menghapus tuduhan terhadap Bung Karno, pencabutan TAP MPRS Nomor 33 juga untuk penghargaan dan pemulihan martabat Sang Proklamator.

“Tuduhan-tuduhan dalam TAP MPRS tersebut yang ditunjukkan kepada sang proklamator kita, yakni Bung Karno, Presiden pertama Republik Indonesia telah gugur dan dinyatakan tidak terbukti,” kata Supratman yang juga hadir dalam agenda penyerahan itu.

Advertising
Advertising

Sejarah dan isi TAP MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967

Disadur dari jurnal Peralihan Kekuasaan Presiden Dalam Lintasan Sejarah Ketatanegaraan Indonesia, terbitnya TAP MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 bermula ketika terjadinya peristiwa G30S/PKI. Peristiwa pemberontakan itu terjadi pada dini hari 1 Oktober 1965. Enam jenderal dan seorang perwira TNI diculik dan dibunuh. Jenazah mereka disembunyikan di sebuah sumur di Lubang Buaya.

Setelah pemberontakan itu gagal, rakyat Indonesia kemudian saling menaruh curiga. Salah satunya kepada Presiden Sukarno yang diduga dekat dengan PKI. Di waktu yang sama, pada 2 Oktober 1965, Bung Karno menunjuk Mayor Jenderal Soeharto sebagai Panglima Komando Strategi Angkatan Darat (Kostrad) yang ditugaskan untuk memulihkan keamanan dan ketertiban.

Semenjak itu, nama Soeharto mulai naik daun dan di lain pihak nama Sukarno kian meredup. Kemudian pada 16 Oktober 1965, Sukarno menunjuk Soeharto sebagai Menteri/Panglima Angkatan Darat. Soeharto mulai leluasa untuk menyingkirkan unsur-unsur PKI, mulai dari ormas hingga masyarakat sipil dengan jabatan tersebut.

Perekonomian Indonesia semakin sulit pada akhir 1965, membuat rakyat yang masih marah dengan peristiwa G30S menjadi semakin berapi-api. Buntutnya, pada 10 Januari 1966 muncullah Tri Tuntutan Rakyat atau Tritura yang dipelopori oleh Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) dan Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI).

Tritura antara lain berisi desakan pembubaran PKI, pembersihan kabinet dari unsur-unsur G30S/PKI, dan penurunan harga atau perbaikan ekonomi. Akibat tuntutan tersebut, Sukarno lantas mengubah susunan Kabinet Dwikora pada 24 Februari 1966. Namun, rakyat justru kian marah. Mereka menilai masih ada tokoh-tokoh yang dicurigai terlibat dengan pemberontakan tersebut.

Sadar akan kondisi negara yang semakin tidak kondusif, Sukarno pun memberikan surat perintah kepada Soeharto pada 11 Maret 1966, yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan Supersemar. Surat sakti inilah yang menjadi permulaan peralihan presiden dari Sukarno ke Soeharto. Surat perintah tersebut lalu dikukuhkan oleh MPRS melalui Tap MPRS No. IX/MPRS/1966.

Dengan adanya landasan hukum yang kuat, maka “kekuasaan” Soeharto pun semakin kuat di pemerintahan. Saat itu, ia adalah orang kedua yang paling berkuasa di Kabinet Ampera setelah Sukarno. Kemudian pada 22 Februari 1967 di Istana Merdeka Kekuasaan Pemerintahan diserahkan oleh Sukarno kepada pengemban Ketetapan MPRS No. XI/MPRS/1966, yaitu Soeharto.

Sebelumnya, Sukarno pada 22 Juni 1966 juga telah memberikan pidato berjudul Nawaksara yang ditujukan kepada MPRS. Pidato itu disampaikan sebagai pertanggungjawabannya dalam menghadapi G302/PKI. Namun, MPRS tidak puas dengan apa yang telah disampaikan Sukarno. Mereka meminta Sukarno untuk melengkapi laporan pertanggungjawaban tersebut melalui Tap MPRS No. V/MPRS/1966.

Lalu, meskipun telah dilengkapi oleh Sukarno, dalam musyawarah yang dilakukan MPRS pada 21 Januari 1967, Soekarno dinyatakan telah alpa dalam memenuhi ketentuan-ketentuan konstitusional. Akibat kondisi yang semakin tidak kondusif, ditambah adanya usulan dari Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR GR), singkat cerita, diadakan lah Sidang Istimewa oleh MPRS pada 7 hingga 12 Maret yang menghasilkan Ketetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/1967.

Adapun isi TAP MPRS No. XXXIII/MPRS/1967, yaitu:

Menetapkan:

Ketetapan Tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara Dari Presiden Sukarno

BAB I

Pasal 1

Menyatakan, bahwa Presiden Soekarno telah tidak dapat memenuhi pertanggungjawaban konstitusional, sebagaimana layaknya kewajiban seorang Mandataris terhadap Majelis Permusyawaratan Rakyat (Sementara), sebagai yang memberikan mandat, yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945.

Pasal 2

Menyatakan bahwa Presiden Soekarno telah tidak dapat menjalankan haluan dan putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Sementara), sebagaimana layaknya kewajiban seorang Mandataris terhadap Majelis Permusyawaratan Rakyat (Sementara) sebagai yang memberikan mandat, yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945.

Pasal 3

Melarang Presiden Soekarno melakukan kegiatan politik sampai dengan pemilihan umum dan sejak berlakunya ketetapan ini menarik kembali mandat Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dari Presiden Soekarno serta segala Kekuasaan Pemerintahan Negara yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945.

Pasal 4

Menetapkan berlakunya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Sementara) No. XV/MPRS/1966, dan mengangkat Jenderal Soeharto, Pengemban Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966 sebagai Pejabat Presiden berdasarkan Pasal 8 Undang-Undang Dasar 1945 hingga dipilihnya Presiden oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat hasil Pemilihan Umum.

Pasal 5

Pejabat Presiden tunduk dan bertanggung-jawab kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (Sementara).

Pilihah Editor: MPR Cabut TAP MPRS Nomor XXXiii/MPRS/1967, Guntur Soekarnoputra: Terbantahkan Bung Karno Mendukung G30S PKI

Berita terkait

Pemberontakan Madiun 1948, Ketika Kekuatan Kiri Terkoyak

4 jam lalu

Pemberontakan Madiun 1948, Ketika Kekuatan Kiri Terkoyak

Banyak pemimpin kiri, termasuk mereka yang tidak terlibat dalam pemberontakan Madiun, ditangkap atau dibunuh.

Baca Selengkapnya

18 September 1948 Meletusnya Pemberontakan PKI di Madiun: Bagaimana Kronologinya?

15 jam lalu

18 September 1948 Meletusnya Pemberontakan PKI di Madiun: Bagaimana Kronologinya?

Para pendukung PKI merebut beberapa tempat strategis di Madiun, membunuh tokoh-tokoh pro-pemerintah, dan mengumumkan pembentukan pemerintahan baru.

Baca Selengkapnya

Beri Kuliah Sistem Politik, Bamsoet Jelaskan Politik Bebas Aktif Indonesia

16 jam lalu

Beri Kuliah Sistem Politik, Bamsoet Jelaskan Politik Bebas Aktif Indonesia

Ketua MPR RI sekaligus dosen tetap Pascasarjana Universitas Pertahanan RI (Unhan) Bambang Soesatyo atau Bamsoet mengatakan, Indonesia menganut politik luar negeri bebas dan aktif.

Baca Selengkapnya

Bamsoet Dukung Kejuaraan Offroad Prima 4x4 Challenge 2024

16 jam lalu

Bamsoet Dukung Kejuaraan Offroad Prima 4x4 Challenge 2024

Memperebutkan Piala Panglima TNI, kegiatan ini menjadi rangkaian dari memperingati hari ulang tahun TNI ke-79.

Baca Selengkapnya

Bamsoet Apresiasi Kesuksesan Penyelenggaraan Cabor Grasstrack PON XXI

20 jam lalu

Bamsoet Apresiasi Kesuksesan Penyelenggaraan Cabor Grasstrack PON XXI

Cabor ini tidak hanya menampilkan adu kecepatan, tetapi juga menguji keterampilan teknis para pembalap dalam menghadapi lintasan menantang. Mulai dari tanjakan curam, tikungan tajam, hingga medan berlumpur.

Baca Selengkapnya

Waketum Pastikan Kepengurusan PKB 2024-2029 Sudah Disahkan Menkumham

22 jam lalu

Waketum Pastikan Kepengurusan PKB 2024-2029 Sudah Disahkan Menkumham

Waketum PKB menyatakan susunan kepengurusan partainya sudah disahkan Kemenkumham.

Baca Selengkapnya

Bamsoet Dukung Gelaran IMX 2024

1 hari lalu

Bamsoet Dukung Gelaran IMX 2024

IMX 2024 bertema Road to The World memiliki misi untuk membawa karya-karya modifikasi anak bangsa ke panggung internasional.

Baca Selengkapnya

3 Fakta Terkini Naturalisasi Pemain Timnas Indonesia Mees Hilgers dan Eliano Reijnders

1 hari lalu

3 Fakta Terkini Naturalisasi Pemain Timnas Indonesia Mees Hilgers dan Eliano Reijnders

Mulai persetujuan DPR RI hingga rencana pengambilan sumpah WNI menjadi fakta-fakta terkini naturalisasi Mees Hilgers dan Eliano Reijnders.

Baca Selengkapnya

Mees Hilgers dan Eliano Reijnders akan Ambil Sumpah WNI di Belanda

1 hari lalu

Mees Hilgers dan Eliano Reijnders akan Ambil Sumpah WNI di Belanda

Menkumham Supratman Andi Agtas bakal menugaskan perwakilannya untuk pengmabilan sumpah WNI Mees Hilgers dan Eliano Reijnders di Belanda.

Baca Selengkapnya

DPR Sepakati Revisi UU MK Diwariskan ke Periode Berikutnya

1 hari lalu

DPR Sepakati Revisi UU MK Diwariskan ke Periode Berikutnya

Komisi III DPR sepakat untuk mengesahkan revisi UU MK Nomor 24 Tahun 2003 di periode berikutnya, karena keterbatasan waktu.

Baca Selengkapnya