Cerita Diana menjadi Guru Penggerak untuk Berantas Buta Huruf di Pedalaman Papua Selatan
Reporter
Linda novi trianita
Editor
Linda novi trianita
Senin, 15 Juli 2024 08:00 WIB
Di Kampung Atti hanya ada sekitar 20-an kepala keluarga. Namun dalam satu kepala keluarga memiliki banyak istri dan anak. Alhasil banyak anak-anak yang perlu mengenyam pendidikan. Per 2024 sesuai data Dapodik SDN Atti, jumlah siswa mencapai 60-an. Namun yang aktif sekitar 58-an siswa. Banyak dari mereka yang ikut keluarganya ke hutan untuk mencari makan dan tinggal beberapa hari di bifak sana.
Diana berfokus memberantas buta huruf di kampung itu. Ia juga mengajari cara berhitung dasar kepada anak-anak pedalaman di Papua tersebut. Pendidikan nasionalisme sesekali ia sisipkan. Ia dan dua kolega sesama guru penggerak di kampung itu, Fransiska Erlyansi Bere (Icha) dan Oktofianus Halla (Vian), mesti berhati-hati lantaran di daerah tersebut banyak simpatisan Organisasi Papua Merdeka (OPM). Mereka juga tak mengibarkan bendera merah putih di sekolahan.
Diana mengajar bersama dua koleganya di tiga ruang kelas yang serba terbatas. Para siswa duduk di lantai karena keterbatasan meja dan tulis. Tak cuma itu, sejak Kristosimus habis masa jabatannya sebagai Bupati Mappi pada Maret 2022 lalu, Diana dan kawan-kawan tak lagi mendapat pasokan buku, alat tulis, maupun sarana-prasarana untuk kegiatan belajar-mengajar.
Siswa dan orang tuanya tak bisa diandalkan untuk menyediakan alat tulis sendiri lantaran untuk belanja kebutuhan tersebut mereka harus ke Kota Kepi yang bisa ditempuh sekitar enam jam melalui rute jalan kaki, naik ketinting, disambung perjalanan menggunakan mobil. Selain itu, para siswa dan orang tua tak punya uang kecuali saat Bantuan Langsung Tunai (BLT) cair dan Dana Desa juga cair. Kebanyakan penduduk Kampung Atti tak punya penghasilan.
Agar kegiatan belajar-mengajar tetap berjalan, Diana berinisiatif membuka donasi di media sosialnya, Instagram dan Facebook. Dalam membuka donasi, Diana tak pernah mau menerima uang, selalu dalam bentuk barang seperti buku, alat tulis, dan pakaian layak untuk anak-anak. Barang-barang itu dikirim ke kosan Diana di Kota Kepi, Ibu Kota Kabupaten Mappi. Ia menyewa Rp 500 ribu per bulan untuk menampung donasi.
Diana dan dua koleganya, Fransiska Erlyansi Bere dan Oktofianus Halla, biasanya lima bulan sekali ke kota untuk mengambil barang-barang donasi yang sudah tiba di kosan dan belanja kebutuhan makanan serta lainnya. Mereka tak bisa bolak-balik ke kota lantaran mahalnya biaya transportasi, meski sudah ada harga khusus untuk guru. Gaji Diana sebagai guru penggerak Rp 4 juta per bulan. Untuk kebutuhan sekolah, semestinya ada Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Namun, dana BOS yang ratusan juta itu tak pernah mengalir ke sekolah/siswa karena Kepala Sekolah yang menerima pencairan. Bahkan ketika Diana dan kawan-kawan saat ke kota berusaha menemui kepala sekolah dan menjelaskan kebutuhan para siswa, kepala sekolah memarahi mereka. Bahkan menuding Diana dan dua guru lainnya sebagai orang luar yang suka meminta-minta.
Diana dan kawan-kawannya merasa bersyukur karena ada BTS per Februari 2023. Setidaknya, ia bisa melepas rindu bersama keluarga. Sebelumnya, ia selalu berkomunikasi menggunakan surat yang dititipkan ke warga/siswa yang akan ke kampung sebelah tiap Diana ingin pesan ketinting guna keperluan ke kota. Adapun komunikasi dengan keluarga sebelumnya hanya bisa terjadi saat Diana berkunjung ke kota yang notabene lima bulan sekali.
Kata Warga Atti mengenai kehadiran Diana, Icha, dan Vian...