Kisah Daud Beureueh, Jejak Pejuang Kemerdekaan Asal Aceh yang Berontak
Reporter
Sukma Kanthi Nurani
Editor
Dwi Arjanto
Senin, 10 Juni 2024 22:56 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Hari ini, 10 Juni 1987 silam, adalah hari meninggalnya tokoh pejuang kemerdekaan asal Aceh, Daud Beureueh yang lahir pada 1899. Dia adalah seorang pejuang yang kemudian memberontak karena ketidakpuasan terhadap pemerintahan Sukarno.
Daud Beureueh lahir di Beureu’eh, Kabupaten Pidie, Aceh dengan nama lengkap Teungku Muhammad Daud Beureueh. Ia tidak pernah mendapatkan pendidikan formal. Ia menimba ilmu di beberapa pesantren di Sigli, termasuk pesantren milik Teungku Muhammad Hamid, ayah dari Farhan Hamid, seorang kader Partai Amanat Nasional.
Pada masa-masa usia sekolah, ayahnya tidak mendaftarkannya ke institusi pendidikan resmi yang didirikan oleh Belanda seperti Volkschool, Government Indlandsche School, atau HIS. Sebagai gantinya, ayahnya lebih memilih lembaga pendidikan tradisional yang sudah ada sejak zaman kerajaan Islam, seperti dayah atau zawiyah.
Dilansir dari luk.staff.ugm.ac.id, meskipun tidak mendapatkan pendidikan Belanda, kecerdasan dan kecepatan berpikirnya membuatnya mampu menyerap segala ilmu yang diajarkan kepadanya, termasuk bahasa Belanda. Kebiasaan mengonsumsi ikan, yang umum di kalangan masyarakat Aceh, menjadikannya seorang yang cepat belajar.
Pada usia 33 tahun, Daud mendirikan Madrasah Sa’adah Abadiah di Blang Paseh, Sigli. Dia adalah seorang ulama yang dihormati dan tidak ragu memberikan kritik keras kepada mereka yang menyimpang dari akidah Islam.
Daud Beureueh pernah memegang jabatan sebagai ketua Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) dalam upaya melawan penjajahan Belanda di Indonesia. Pada masa revolusi, ia juga berperan sebagai Gubernur Militer Aceh. Dari 21 September hingga 9 Mei 1962, ia terus memberontak terhadap pemerintah, salah satunya dengan mendirikan Negara Islam Indonesia (NII) karena merasa tidak puas dengan kepemimpinan Presiden Soekarno.
Kisah pemberontakan Daud Beureueh dimulai dengan munculnya sebuah dokumen rahasia yang isinya tidak diketahui secara pasti. Di kalangan tentara Darul Islam Aceh, dokumen ini disebut "les hitam," sementara sejarawan Belanda Cornelis van Dijk menyebutnya "daftar hitam." Dokumen ini menjadi bahan perbincangan hangat di Tanah Jeumpa pada awal 1950-an.
Dokumen tersebut konon dikirim oleh Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo melalui Jaksa Tinggi Sunarjo yang membawanya ke Medan. Namun, ada juga yang mengatakan dokumen ini berasal dari kabinet Sukiman. Isinya menggambarkan puncak perseteruan antara pemerintah Jakarta dan Aceh, dengan rencana Jakarta untuk membunuh 300 tokoh penting Aceh, atau 190 menurut sumber lain, melalui operasi rahasia setelah memastikan daerah tersebut akan memberontak.
Ali Sastroamidjojo menyangkal keterlibatannya dalam penyusunan daftar itu pada rapat paripurna DPR 2 November 1953. Namun, keberadaan dokumen tersebut tidak begitu penting. Yang pasti, rumor tentang rencana pembunuhan itu memberi momentum bagi pemberontakan Darul Islam di Aceh. Aktivis Darul Islam segera bersiap-siap, dan Daud Beureueh, salah satu yang disebut dalam dokumen itu, segera mengangkat senjata.
Selama sembilan tahun, Daud Beureueh memimpin gerakan perlawanan di bawah bendera Darul Islam, membuka babak pemberontakan Aceh pasca-era kolonial. Namun, "les hitam" bukanlah satu-satunya penyebab pemberontakan ini.
Dokumen itu hanya pemicunya, sedangkan minyak tanahnya adalah kekecewaan Daud Beureueh yang merasa dikhianati oleh Sukarno setelah membela Republik selama perjuangan kemerdekaan.
Kekecewaan ini dipicu oleh pembubaran Divisi X TNI di Aceh pada 23 Januari 1951 dan pencabutan status provinsi Aceh. Beberapa pihak menyebut kabinet Natsir sebagai pelakunya, sementara yang lain menganggap itu keputusan kabinet sebelumnya.
Aceh kemudian digabungkan ke dalam Provinsi Sumatera Utara, dengan Abdul Hakim diangkat sebagai gubernurnya dan Medan sebagai pusat pemerintahan. Daud Beureueh, yang sebelumnya menjabat sebagai Gubernur Jenderal yang meliputi Aceh, Langkat, dan Tanah Karo, tidak mengetahui keputusan ini.
Dilansir dari esi.kemendikbud.go.id, Kongres Alim Ulama se-Indonesia di Medan pada 11-15 April 1953 menghasilkan beberapa keputusan, di antaranya memperjuangkan Negara Islam Indonesia (NII) melalui pemilu yang akan datang.
Pada 21 September 1953, Daud Beureueh mendeklarasikan Aceh menjadi bagian dari NII. Deklarasi tersebut menunjukkan Aceh bergabung dengan NII Jawa Barat di bawah Sekarmadji Marijan Kartosoewirjo. Ini merupakan peristiwa berdarah untuk Aceh.
Pemerintah merespons pemberontakan dengan menurunkan kekuatan militer berdasarkan Keputusan Presiden No. 175 Tahun 1952, mengerahkan empat batalyon tentara dan 13 batalyon mobrig ke seluruh Aceh. Namun, kekuatan militer saja tidak cukup untuk menyelesaikan konflik, sehingga upaya dialog mulai dilakukan. Selama periode ini, terdapat perpecahan di kalangan pemberontak yang dimanfaatkan untuk melanjutkan dialog dengan pemerintah, yang dikenal sebagai Misi Hardi.
Kolonel Jasin, yang menggantikan Syamaun Gaharu sebagai Panglima Kodam, melihat Daud Beureueh sebagai kunci dalam konflik ini. Pada 7 Maret 1961, Jasin mengirim surat kepada Daud Beureueh, mengajak untuk berdamai. Balasan Daud Beureueh pada 27 April 1961 berisi sembilan pokok penting.
Pertemuan pertama antara utusan pribadi Daud Beureueh dan Kolonel Jasin terjadi pada 4 Agustus 1961, diikuti oleh pertemuan langsung pada 2 November 1961. Daud Beureueh menyampaikan keinginan untuk mengutus Hasballah, anaknya, untuk bertemu dengan Jenderal Nasution di Jakarta, yang kemudian terlaksana pada 21 November 1961.
Pada 5 Februari 1962, Kolonel Jasin mengirim surat resmi kepada Daud Beureueh dengan keputusan tentang pelaksanaan Syariat Islam di Aceh, yang diterima baik oleh Daud Beureueh pada 17 Februari 1962. Akhirnya, pada 9 Mei 1962, Teungku Daud Beureueh bersama staf dan pasukannya kembali ke pangkuan Republik Indonesia, dijemput oleh Letkol Nyak Adam Kamil dan satu kompi TNI.
Pada masa Orde Baru, Daud Beureueh dilumpuhkan pemerintah. Ia meninggal pada 1987 dalam usia 91 tahun dengan kondisi buta. Dalam pemakamannya tidak ada penghormatan seperti prosesi pemakaman orang berjasa di Aceh.
SUKMA KANTHI NURANI | HENDRIK KHOIRUL MUHID
Pilihan editor: Banyak Alasan Daud Beureueh Lakukan Pemberontakan Kepada Sukarno, Pejuang yang Terpinggirkan