TEMPO.CO, Jakarta - Hari ini, 17 September 1899 silam, adalah hari kelahiran tokoh pejuang kemerdekaan asal Aceh, Daud Beureueh. Dia dikenal sebagai pejuang yang kemudian memberontak karena tidak puas dengan pemerintahan Sukarno. Majalah Tempo edisi Ahad, 17 Agustus 2003 secara khusus mengulas seluk beluk kisah pendekar Tanah Jeumpa ini.
Dia lahir di Beureu’eh, Kabupaten Pidie, Aceh dengan nama lengkap Teungku Muhammad Daud Beureueh. Saat Belanda masih menduduki Indonesia, dia menjabat sebagai ketua Persatuan Ulama Seluruh Aceh atau PUSA untuk menentang kependudukan kolonialisme. Pada masa revolusi, dia juga sempat menjabat sebagai Gubernur Militer Aceh. Kekecewaannya atas pemerintahan Sukarno membuatnya berontak.
Daud Beureueh adalah lelaki yang tak pernah mengenal sekolah formal. Ia mengecap pendidikan di beberapa pesantren di Sigli. Salah satunya milik Teungku Muhammad Hamid, orang tua Farhan Hamid, kader Partai Amanat Nasional. Pada usia 33 tahun, Daud mendirikan Madrasah Sa’adah Abadiah di Blang Paseh, Sigli. Daud adalah ulama yang disegani. Daud tak segan melontarkan kritik keras kepada mereka yang meninggalkan akidah Islam.
“Lidah Teungku Daud sangat enteng mengeluarkan vonis haram dan kafir kepada orang yang tak disukainya ketika ia berkhotbah di masjid, dalam rapat, atau di mana saja tempat yang dianggapnya perlu,” tulis Majalah Indonesia Merdeka dalam terbitannya pada 1 Oktober 1953.
Karena karismanya itu, Duad Beureueh dipercaya memimpin tentara Indonesia dalam pertempuran melawan Belanda. Daud Beureueh juga menjadi orang yang bisa menyatukan laskar-laskar perang di Aceh ketika mereka hendak digabungkan menjadi Tentara Rakyat Indonesia atau TRI. Itulah sebabnya, meski ia tak mengenal sekolah, Wakil Presiden Mohammad Hatta mengangkatnya menjadi gubernur militer dengan pangkat jenderal mayor tituler.
Tapi Daud bukanlah tokoh tanpa kontroversi. Salah satu yang terpenting adalah kiprahnya dalam PUSA, lembaga yang didirikannya pada 1939, terutama kaitannya dengan kaum uleebalang yang didukung pemerintah Belanda. Telah lama sebetulnya ada hubungan yang tak harmonis antara kalangan ulama dan kaum pamong praja di Aceh. Kalangan ulama menuding uleebalang hanya menjadi boneka penjajah.
Puncaknya adalah Perang Cumbok yang terkenal. Van Dijk mencatat, menjelang revolusi Darul Islam 1953, perang dingin di antara keduanya sudah terlihat. Pada 8 April 1951, kaum uleebalang membentuk Badan Keinsjafan Rakjat atau BKR. Secara resmi lembaga ini bertujuan menegakkan pemerintahan yang bersih. Tapi, melihat statemen-statemen yang dikeluarkannya, jelas badan ini bertujuan menggugat PUSA.
Badan Keinsjafan, misalnya, meminta pemerintah pusat membersihkan panitia Pemilu 1955 dari “anasir-anasir” PUSA. Kunjungan pejabat Jakarta ke Aceh masa itu kerap disambut oleh demonstrasi pendukung keduanya. Salah satu poster yang dibentangkan BKR misalnya berbunyi, “Teungku Daud Beureueh Pengisap Darah Rakyat,”.
Van Dijk menuding gerakan PUSA tak independen. Persenjataan PUSA ketika bertempur, misalnya, adalah berasal dari Jepang. Tapi tudingan ini dibantah El-Ibrahimy. Menurut dia, mereka berperang dengan menggunakan sisa-sisa senjata milik Jepang yang disita rakyat. El-Ibrahimy mengatakan serangan kepada Beureueh dan PUSA memang beragam. Tak hanya itu, gerakan kepanduan milik PUSA, Kasysyafatul Islam, pernah disebut-sebut menerima bantuan 4.000 pakaian dari Borsumij, sebuah perusahaan Belanda.
“Bagaimana masuk akal kami menerima sumbangan dari musuh?” tulis El-Ibrahimy dalam buku Teungku Daud Beureueh: Peranannya dalam Pergolakan di Aceh.
Pada masa revolusi Daun Beureuh pernah menjabat sebagai Gubernur Militer Aceh. Sejak 21 September sampai dengan 9 Mei 1962, ia terus melakukan pemberontakan kepada pemerintah, salah satunya dengan membangun NII karena merasa tidak puas dengan kinerja Presiden Sukarno.
Tetapi akhirnya ia kembali ke pihak Indonesia dengan bujukan Mohammad Natsir yang terhitung cucu dari Daud. Ia adalah orang yang menyambut proklamasi kemerdekaan Indonesia 1945 dengan sumpah akan mencintai dan setia kepada Indonesia.
Daud Beureueh menginginkan sebuah Negara Islam untuk seluruh Indonesia, dan bukan cuma untuk Aceh yang merdeka.
Dalam artikel ilmiah “Teungku Muhammad Daud Beureueh Bapak Darul Islam dan Bapak Orang-orang Aceh” Ia juga meyakinkan, bahwa kemerdekaan beragama akan dijamin di negara semacam itu, dengan menekankan toleransi besar bagi penganut nonmuslim. Mereka akan diberi kebebasan dan dilindungi dalam negara Islam Indonesia, sedangkan menurutnya umat Islam tidak dapat merasakan kemerdekaan sejati kalau mereka tidak hidup dalam sebuah negara yang didasarkan atas ajaran-ajaran Alquran.
Pada masa Orde Baru, Daud Beureueh dilumpuhkan pemerintah. Ia meninggal pada 1987 dalam usia 91 tahun dengan kondisi buta. Dalam pemakamannya tidak ada penghormatan seperti prosesi pemakaman orang berjasa di Aceh.
HENDRIK KHOIRUL MUHID | YOLANDA AGNE | MAJALAH TEMPO
Pilihan Editor: Pesan dari Daud Beureuh