Guru Besar UI Ungkap Fenomena Kemunduran Demokrasi
Reporter
Ricky Juliansyah
Editor
Ninis Chairunnisa
Senin, 3 Juni 2024 14:52 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Guru Besar Antropologi Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia Sulistyowati Irianto mengatakan terjadi fenomena kemunduran demokrasi pada pemerintahan, mulai dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) hingga bantuan sosial (bansos) untuk pemenangan salah satu paslon di Pilpres 2024.
Hal tersebut disampaikan saat mengisi kuliah umum berjudul 'Dilema Intelektual di Masa Gelap Demokrasi: Tawaran Jalan Kebudayaan' di Auditorium Mochtar Riady, Kampus FISIP Universitas Indonesia, Depok, Senin, 3 Juni 2024. Ia memaparkan beragam kejadian yang mengindikasikan kemunduran demokrasi.
Menurut Sulistyowati, upaya pelemahan demokrasi terlihat mulai dari politisasi yudisial dan penyebaran kesadaran palsu ke publik bahwa semuanya wajar tanpa pelanggaran hukum. Padahal, penyelenggara negara yang seharusnya menjadi wasit tampak terlibat, bahkan disebut sebagai kontestan.
"Asas pemilu jujur, adil, bebas, langsung, rahasia seperti digariskan Konstitusi, Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 22 E, telah dilanggar," kata Sulistyowati.
Sulistyowati mengatakan Pemilu 2024 terlihat penuh dengan korupsi politik dan menjadi ruang transaksional di tingkat rakyat yang menyebabkan politik uang dalam pemilu semakin mahal dari waktu ke waktu. "Pemilu juga dilekati transaksi jabatan penting pemerintahan," kata dia.
Kemudian, menurut Sulistyowati, tidak sedikit politikus yang berpindah partai demi harapan dan peluang untuk menjadikan mereka pejabat. "Indikasi kecurangan mengemuka dalam sidang sengketa perselisihan pemilu di Mahkamah Konstitusi," ujarnya.
Sulistyowati juga menyoroti adanya tiga hakim konstitusi yang memiliki pandangan berbeda atau dissenting opinion dalam sidang sengketa pilpres 2024. Selain itu, terdapat lebih dari 50 amicus curiae yang disampaikan para akademisi, seniman, kelompok buruh, dan berbagai elemen lain dalam masyarakat.
"Juga sorotan dari Komite Hak Asasi Manusia Persatuan Bangsa-Bangsa yang belum pernah terjadi dalam pemilu sebelumnya," kata Sulistyowati.
Sulistyowati menduga hukum sudah menjadi alat rekayasa politik untuk kepentingan kekuasaan. Hal itu terlihat dari berbagai instrumen hukum yang akan disegerakan pengesahannya dalam masa lame duck pemerintahan.
"Di antaranya adalah hukum terkait masalah Penyiaran, Kepolisian Negara, Tentara Nasional Indonesia, Mahkamah Konstitusi, dan Kementerian Negara," kata Sulistyowati.
Sulistyowati menilai berbagai pasal dalam instrumen hukum itu menukik pada esensi demokrasi dan hak asasi manusia, seperti akan hilangnya kebebasan berekspresi dan kebebasan pers dalam menyajikan temuan investigatif dalam RUU Penyiaran. "Atau perluasan kewenangan kepolisian dalam RUU Polri, padahal polisi adalah alat negara yang menjaga keamanan dan keterbitan bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat dan menegakkan hukum," kata dia.
Ia juga mengkritisi berbagai kebijakan eksekutif di tingkat nasional yang dirumuskan diam-diam, selanjutnya ramai dibicarakan di ruang publik dan mendapatkan reaksi keras, hingga lalu dibatalkan. Misalnya tentang kebijakan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi soal Uang Kuliah Tunggal (UKT). “Lalu kebijakan Tabungan Perumahan Rakyat (TAPERA) yang proses pembuatannya tampak tidak didasarkan regulatory impact analysis yang memadai," ucap Sulistyowati.
Pilihan Editor: Refly Harun Anggap Demokrasi di 2 Periode Kepemimpinan Jokowi Jalan di Tempat