Koalisi Masyarakat dan Pers di Surabaya Gelar Aksi Tolak RUU Penyiaran

Reporter

Dimas Kuswantoro

Editor

Nurhadi

Selasa, 28 Mei 2024 18:57 WIB

Koalisi Masyarakat dan Pers (Kompers) menggelar aksi menolak RUU Penyiaran yang mengancam kebebasan pers dan berekspresi di depan Gedung Negara Grahadi, Selasa, 28 Mei 2024. Dok AJI Surabaya

TEMPO.CO, Jakarta - Aksi menolak revisi Undang-Undang Penyiaran terus dilakukan di berbagai daerah. Di Surabaya, Jawa Timur, puluhan massa yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat dan Pers (Kompers) menggelar aksi menolak RUU Penyiaran yang mengancam kebebasan pers dan berekspresi di depan Gedung Negara Grahadi, Selasa, 28 Mei 2024.

Massa aksi, yang terdiri dari AJI Surabaya, PFI Surabaya, PPMI DK Surabaya, YLBHI Surabaya, KontraS Surabaya, LBH Lentera Surabaya, PRSSNI Jawa Timur, Aksi Kamisan, dan KIKA, memakai masker hitam dengan tanda silang warna merah sebagai simbol pembungkaman. Mereka membentangkan spanduk dan poster serta menampilkan aksi teatrikal.

Ketua Aliansi Jurnalis Independen atau AJI Surabaya, Eben Haezer, menyatakan RUU Penyiaran memuat pasal-pasal bermasalah yang mengancam kerja-kerja jurnalistik. "Salah satunya Pasal 50 yang menyatakan pelarangan liputan investigasi," kata dia. Selain itu, RUU Penyiaran juga mengancam independensi media seperti termuat dalam Pasal 51E.

Ketua Pewarta Foto Indonesia atau PFI Surabaya, Suryanto, menambahkan RUU Penyiaran juga memberikan wewenang berlebihan kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk mengatur konten media. Hal tersebut dapat mengarah pada penyensoran dan pembungkaman kritik terhadap pemerintah dan pihak-pihak berkepentingan.

Menurut dia, ketentuan yang mengatur tentang pengawasan konten dalam RUU Penyiaran tidak hanya membatasi ruang gerak media, tetapi juga mengancam kebebasan berekspresi warga negara. "Untuk itu kami menuntut DPR RI segera menghentikan pembahasan revisi Undang-Undang Penyiaran," ujarnya.

Advertising
Advertising

Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan atau KontraS Surabaya, Fatkhul Khoir, menduga RUU Penyiaran bakal jadi alat pemerintah untuk melemahkan praktik demokrasi. "Kalau dulu Orde Baru menggunakan militer dan aparat keamanan sebagai alat untuk membungkam, sekarang membatasi ruang gerak melalui undang-undang," ujarnya.

Fatkhul juga menengarai RUU Penyiaran akan jadi alat penguasa untuk melanggengkan upaya-upaya impunitas terhadap pelaku pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masa lalu. "Jadi, dengan adanya revisi UU Penyiaran, yang kemudian isinya melarang jurnalisme investigasi dan sebagainya, ini kan upaya-upaya agar masyarakat tidak kritis terhadap pemerintah," pungkasnya.

Pilihan Editor: Megawati Kritisi RUU MK dan RUU Penyiaran di Rakernas PDIP: Sepertinya Menyembunyikan Sesuatu

Berita terkait

AJI Ternate Kecam Aksi Petugas Keamanan KPU Maluku Utara yang Intimidasi Jurnalis

3 hari lalu

AJI Ternate Kecam Aksi Petugas Keamanan KPU Maluku Utara yang Intimidasi Jurnalis

AJI Ternate menilai sikap arogansi dan intimidasi yang ditunjukkan tiga petugas keamanan KPU melanggar UU Pers

Baca Selengkapnya

Mengapa Israel Melarang Jurnalis Asing Melaporkan dari Wilayah Pendudukan?

3 hari lalu

Mengapa Israel Melarang Jurnalis Asing Melaporkan dari Wilayah Pendudukan?

Aksi tentara Israel menutup kantor biro Al Jazeera di Ramallah baru-baru ini menambah tekanan bagi jurnalis asing yang bertugas di wilayah pendudukan.

Baca Selengkapnya

Menang di MA, Fatia dan Haris Azhar Minta Investigasi Dugaan Konflik Kepentingan Luhut di Papua

3 hari lalu

Menang di MA, Fatia dan Haris Azhar Minta Investigasi Dugaan Konflik Kepentingan Luhut di Papua

Kemenangan ini tidak hanya mengakhiri proses hukum terhadap mereka, tapi juga membuka kembali isu dugaan conflict of interest Luhut di Papua.

Baca Selengkapnya

Peneliti dan Pegiat HAM Dorong Penerapan Soft Approach jadi Upaya Prioritas Tangani Konflik Papua

4 hari lalu

Peneliti dan Pegiat HAM Dorong Penerapan Soft Approach jadi Upaya Prioritas Tangani Konflik Papua

Keberhasilan pendekatan soft approach dalam penanganan konflik dinilai bukan hanya terjadi di Papua kali ini saja.

Baca Selengkapnya

Kisah di Balik Pembebasan Pilot Susi Air Philip Mark Mehrtens

6 hari lalu

Kisah di Balik Pembebasan Pilot Susi Air Philip Mark Mehrtens

Setelah disandera selama sekitar 20 bulan oleh TPNPB-OPM, pilot Susi Air, Philip Mark Mehrtens, akhirnya dibebaskan pada Sabtu, 21 September 2024.

Baca Selengkapnya

Komnas HAM Sebut Kepolisian Aktor Paling Sering Muncul di Kasus Dugaan Pelanggaran HAM

9 hari lalu

Komnas HAM Sebut Kepolisian Aktor Paling Sering Muncul di Kasus Dugaan Pelanggaran HAM

Komnas HAM kembali menyoroti kekerasan yang dilakukan oleh kepolisian selama aksi Peringatan Darurat Kawal Putusan MK pada akhir Agustus lalu

Baca Selengkapnya

Alasan Rapat Paripurna DPR Tolak Usulan 12 Calon Hakim Agung yang Diajukan KY

17 hari lalu

Alasan Rapat Paripurna DPR Tolak Usulan 12 Calon Hakim Agung yang Diajukan KY

Komisi III DPR menemukan dua dari 12 calon hakim agung dan hakim ad hoc HAM terbukti tidak memenuhi persyaratan.

Baca Selengkapnya

Kim Jong Un Kerap Lakukan Hukuman Mati, Terbaru Eksekusi Mati 30 Pejabat Buntut Gagal Mitigasi Banjir

21 hari lalu

Kim Jong Un Kerap Lakukan Hukuman Mati, Terbaru Eksekusi Mati 30 Pejabat Buntut Gagal Mitigasi Banjir

Kim Jong Un eksekusi mati sekitar 30 pejabat akhir Agustus lalu. Ini deretan hukuman mati oleh pemimpin Korea Utara, termasuk kepada pamannya sendiri.

Baca Selengkapnya

Cerita Mendiang Aktivis HAM Munir dan Ayam Jago Pelung Peliharaannya

21 hari lalu

Cerita Mendiang Aktivis HAM Munir dan Ayam Jago Pelung Peliharaannya

Di samping gigih melawan ketidakadilan, mendiang aktivis hak asasi manusia Munir Said Thalib ternyata amat menyukai ayam jago pelung.

Baca Selengkapnya

Surat dari Anak Munir Said Thalib: Puzzle Memoria Abah

21 hari lalu

Surat dari Anak Munir Said Thalib: Puzzle Memoria Abah

Munir Said Thalib diracun tepat 20 tahun lalu. Bagaimana putri bungsunya, Diva Suukyi, menyikapi kasus pembunuhan abahnya yang masih misteri

Baca Selengkapnya