TEMPO.CO, Jakarta - Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum PDI Perjuangan (PDIP), mengajukan pertanyaan mengenai draf revisi Undang-Undang Penyiaran yang sedang dibahas di DPR. Presiden ke-5 RI ini juga menyuarakan dukungannya terhadap jurnalisme investigasi.
“Untuk apa ada media? Makanya, saya selalu mengatakan. Hey, kamu tuh, ada Dewan Pers lho. Lalu, harus mengikuti yang namanya kode etik jurnalistik. Loh kok nggak boleh ya investigasinya?” kata Megawati dalam pidato politik di rapat kerja nasional atau Rakernas PDIP ke-5 di kawasan Ancol, Jakarta Utara, pada Jumat, 24 Mei 2024.
Baca juga:
“Selain dilaksanakan tiba-tiba, dan pada masa reses, sepertinya menyembunyikan suatu kepentingan politik yang begitu besar,” kata Megawati.
Dalam pidato tersebut, Megawati mencatat bahwa MK telah diintervensi oleh kekuasaan, merujuk pada putusan 90. Perubahan aturan MK yang dimaksud oleh Ketua Umum PDIP ini memungkinkan Gibran Rakabuming Raka untuk maju sebagai calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto.
“Putusan 90 menimbulkan begitu banyak antipati karena ambisi kekuasaan, sukses mematikan etika moral dan hati nurani hingga tumpang tindih kewenangan,” kata Megawati.
DPR dan pemerintah telah menyetujui pembahasan tingkat I untuk rancangan perubahan keempat Undang-Undang Mahkamah Konstitusi pada Senin, 13 Mei 2024, meskipun DPR saat itu sedang reses. Masa sidang kelima tahun 2023/2024 baru dimulai keesokan harinya.
Revisi UU MK ini telah menimbulkan polemik. Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK), I Dewa Gede Palguna, mencatat dua pasal yang menjadi perhatian. Perubahan UU MK ini dapat berdampak signifikan, terutama bagi hakim yang ingin memperpanjang masa jabatannya hingga 10 tahun. Menurut draf revisi UU MK, Pasal 23A ayat (1) menetapkan masa jabatan hakim konstitusi selama 10 tahun.
Saat ini, revisi UU Penyiaran sedang dibahas oleh Badan Legislasi DPR. Beberapa pasal dalam draf revisi UU Penyiaran telah menimbulkan kontroversi. Dokumen tertanggal 27 Maret 2024 ini dikritik karena terdapat pasal-pasal yang berpotensi mengancam kebebasan pers. Misalnya, larangan penayangan eksklusif jurnalistik investigasi, serta potensi tumpang tindih kewenangan antara Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Dewan Pers terkait sengketa jurnalistik.
Rencana revisi UU Penyiaran juga memicu gelombang protes. Para jurnalis mengadakan demonstrasi di berbagai kota di Indonesia. Terbaru, puluhan wartawan dari berbagai media di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, menggelar aksi damai menolak revisi UU Penyiaran di depan Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Cianjur pada Rabu, 22 Mei 2024.
Menteri Komunikasi dan Informatika, Budi Arie Setiadi, menyatakan bahwa Presiden Joko Widodo (Jokowi) belum memberikan arahan resmi mengenai revisi UU Penyiaran. Pemerintah berjanji akan menjamin kemerdekaan pers dan hak masyarakat untuk berpendapat.
“Barangnya belum resmi. Enggak ada di meja kami secara resmi drafnya. Yang kita dapat ya versi WA, bicara simpang siur,” kata Budi Arie dalam konferensi pers daring di Jakarta pada Jumat, 24 Mei 2024.
ANANDA RIDHO SULISTYA | DANIEL A. FAJRI
Pilihan Editor: Gelombang Penolakan RUU Penyiaran di Sejumlah Daerah, Terbaru di Makassar dan Padang