Fakta-fakta RUU Penyiaran yang Menuai Polemik
Reporter
Hendrik Khoirul Muhid
Editor
Dwi Arjanto
Kamis, 16 Mei 2024 15:16 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran atau RUU Penyiaran menuai polemik. Draf yang saat ini dalam proses harmonisasi di Badan Legislasi (Baleg) DPR RI tersebut dianggap dapat menghambat kebebasan pers di Indonesia. Adalah antaranya Pasal 56 ayat 2 poin c, yang melarang penayangan eksklusif jurnalistik investigasi.
Jurnalisme investigasi diklaim bisa menganggu proses pro justitia aparat penegak hukum dan membentuk opini publik dalam proses penegakan hukum. Klaim ini menjadi alasan Komisi I DPR RI memasukan pasal larangan penayangan karya jurnalisme investigasi dalam draf RUU Penyiaran.
Berikut fakta-fakta RUU Penyiaran yang menuai polemik:
1. Tak Mencantumkan UU Pers
Sekretaris Jenderal Aliansi Jurnalis Independen atau AJI, Bayu Wardhana, meminta agar DPR menghapus pasal-pasal bermasalah. Bayu mengatakan DPR mestinya menjadikan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers sebagai rujukan utama dalam penyusunan pasal yang mengatur tentang penyiaran karya jurnalistik. Akan tetapi, konsideran draf RUU Penyiaran tidak mencantumkan UU Pers sama sekali.
“Ini sebuah upaya pembungkaman pers yang sangat nyata,” kata Bayu saat dihubungi, Sabtu 11 Mei 2024.
2. Larangan siaran ekslusif investigasi tak sesuai UU Pers
Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Dewan Pers, Yadi Hendriana, mengatakan larangan untuk menyiarkan konten eksklusif jurnalisme ini tak sesuai dengan UU Pers. Menurut dia, UU Pers telah mengatur ihwal kerja dan etika pers, termasuk soal kegiatan jurnalisme investigasi. “Ini tidak ada dasarnya dan justru akan memberangus pers,” kata Yadi saat dihubungi Tempo, Sabtu, 11 Mei 2024.
3. Jurnalisme investigasi dilarang adalah kekeliruan
Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md tak sepakat dengan draf RUU Penyiaran. Mahfud mengatakan revisi yang berpotensi melarang produk jurnalistik investigasi itu adalah suatu kekeliruan. Sebab, katanya, tugas jurnalis justru melakukan investigasi.
“Dia akan menjadi hebat media itu kalau punya wartawan yang bisa melakukan investigasi mendalam dengan berani,” kata Mahfud melalui keterangan tertulis pada Rabu, 15 Mei 2024.
4. Jurnalisme investigasi justru bantu ungkap kasus hukum
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Ketut Sumedana, mengatakan jurnalisme investigasi justru membantu pengungkapan kasus hukum dan Kejaksaan dengan informasi yang dipaparkan. Hal ini disampaikan Ketut saat dikonfirmasi Tempo, Senin, 13 Mei 2024, ihwal klaim jurnalisme investigasi disebut mengganggu proses hukum. Ketut, yang juga Kepala Kejaksaan Tinggi Bali, mengatakan media investigasi sudah ada sejak dulu serta menjadi bagian dari demokrasi.
“Saya kira tidak masalah (dengan media investigasi),” kata Ketut lewat keterangan WhatsApp kepada Tempo. “Karena penegak hukum bekerja dan memperoleh alat bukti dari berbagai sumber, termasuk media yang obyektif, transparan, dan tidak tendensius.”
5. Jurnalisme investigasi dibutuhkan di tengah apatisme masyarakat terhadap penegakan hukum
Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata mengatakan jurnalisme investigasi justru dibutuhkan di tengah apatisme masyarakat terhadap penegakan hukum. Jurnalisme investigasi, kata dia, menjadi bagian dari pengawasan masyarakat yang dilakukan oleh media. Diharapkan mampu memberikan tekanan kepada aparat penegak hukum agar bekerja secara profesional dan berintegritas. Ia menyebut jurnalisme investigasi kadang membantu KPK dalam penyelidikan.
“Saya pribadi senang membaca laporan investigasi,” kata Alex kepada Tempo, Ahad, 12 Mei 2024. “Kadang-kadang laporan investigasi menjadi masukan untuk melakukan penyelidikan. Laporan investigasi tak ubahnya laporan masyarakat.”
Sementara itu, Anggota Komisi I DPR, Mayor Jenderal (Purnawirawan) TB Hasanuddin, mengatakan DPR tidak memiliki niat untuk memberangus kebebasan pers dengan memuat pasal yang melarang siaran eksklusif jurnalisme investigasi. Politikus PDIP itu menjelaskan, pelarangan diusulkan guna mencegah terpengaruhinya opini publik terhadap proses penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum.
“Saya kira bisa dipahami. Jadi jangan sampai proses hukum yang dilakukan aparat terpengaruh konten jurnalisme investigasi,” kata Hasanuddin kepada Tempo, Sabtu, 11 Mei 2024.
HENDRIK KHOIRUL MUHID | SULTAN ABDURRAHMAN | EKA YUDHA SAPUTRA
Pilihan editor: Dewan Pers Tegas Tolak RUU Penyiaran, Ini 7 Poin Catatannya