Sikap Tokoh yang Surati Parpol untuk Dukung Hak Angket, dari Novel Baswedan hingga Suciwati
Reporter
Tempo.co
Editor
Sapto Yunus
Rabu, 13 Maret 2024 06:37 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Tak kurang dari 50 tokoh masyarakat dari berbagai latar belakang mengirimkan surat kepada lima ketua umum partai politik untuk mendorong pengajuan hak angket dugaan kecurangan Pemilu 2024 di DPR. Surat itu ditujukan kepada Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh, Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar, Presiden PKS Ahmad Syaikhu, dan Ketua Umum PPP Muhammad Mardiono.
Melalui surat tersebut, mereka menyebutkan hak angket diusulkan untuk menyelidiki dugaan pemerintahan Presiden Joko Widodo telah berlaku tidak netral untuk memenangkan pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Di antaranya melalui kebijakan bantuan sosial yang dibagikan menjelang Pemilu hingga pengerahan aparat untuk mengarahkan pemilih. Gibran tak lain merupakan putra sulung Jokowi.
Berikut ini pandangan beberapa tokoh yang menandatangani surat tersebut:
1. Novel Baswedan: Tidak Mungkin Kita Meletakkan Harapan Baik kepada Pemimpin Negeri yang Terpilih secara Curang
Mantan penyidik senior KPK Novel Baswedan mengatakan kita tidak boleh permisif dengan setiap praktik korup, apalagi ini terkait dengan proses demokrasi memilih pemimpin. “Keyakinan bahwa telah terjadi penyimpangan atau kecurangan pemilu sangat jelas, maka harus diperiksa secara tuntas,” kata Novel kepada Tempo.co, Senin, 11 Maret 2024.
Novel, yang mewakili IM57+ Institute, mengungkapkan alasannya mendukung hak angket tersebut. “Kita tentu tidak ingin kecurangan dan praktik koruptif dalam pemilu dianggap lumrah atau dimaklumi,” ujar Novel yang berada pada urutan pertama dari 50 tokoh masyarakat tersebut.
Dia mengatakan hak angket adalah proses politik oleh DPR yang berasal dari partai politik. Seharusnya, DPR punya kewajiban pengawasan, dan oleh karena itu dilengkapi beberapa kewenangan di antaranya adalah hak angket.
“Masalahnya adalah menjadi seolah pengawasan oleh DPR hanya dilakukan oleh DPR dari partai politik oposisi saja. Kepentingan untuk mengungkap dan tidak memaklumi setiap perbuatan koruptif adalah bentuk kepedulian kita terhadap negeri ini,” ujarnya.
“Karena, tidak mungkin kita meletakkan harapan baik kepada para pemimpin negeri yang terpilih secara curang, bermasalah atau korup. Sehingga surat dukungan atau desakan kepada pimpinan partai politik untuk melakukan hak angket adalah penting.”
<!--more-->
Novel menyebutkan, bila hak angket tidak dilakukan, maka praktik serupa akan terjadi lagi dan dianggap benar hingga lazim. “Bila itu sampai terjadi, maka praktek korupsi juga akan menjadi-jadi dan kepentingan negara dan masyarakat akan terabaikan,” kata dia.
2. Usman Hamid: Partai Politik Sudah Seharusnya Mendorong DPR Menggunakan Hak Angket
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan partai politik memiliki peran penting merealisasikan hak angket Pemilu. Partai politik sudah seharusnya menggerakkan dan mendorong DPR menggunakan hak angket untuk menyelidiki fakta-fakta kecurangan Pemilu.
“Partai politik memiliki peran penting untuk mengonsolidasi, mengaktivasi pengerahan, dan menggerakan fraksi-fraksi anggota DPR untuk mengajukan hak angket penyelenggaraan Pemilu 2024,” kata Usman, Ahad, 10 Maret 2024.
“Di dalam pemantauan Kami, dugaan kecurangan penyelenggaraan pemilu yang dipersoalkan oleh masyarakat, terjadi bukan hanya pada saat hari pencoblosan 14 Februari 2024, tetapi juga sejak awal proses penyelenggaraan pemilu hingga pasca-pelaksanaan,” ujar Usman.
Jika dibiarkan, tutur Usman, maka hal tersebut akan berdampak buruk pada penegakan hukum dan demokrasi di Tanah Air. “Antusiasme rakyat untuk memilih dan menyambut pemimpin baru (presiden dan wakil presiden) serta anggota Dewan seolah menjadi runtuh, ambruk dan roboh karena dugaan kecurangan makin sempurna,” ucapnya.
3. Suciwati: Kalau Tak Mau Hak Angket, Mereka Jangan-jangan Main Mata dengan Kekuasaan
Suciwati, istri mendiang aktivis HAM Munir, mengatakan setiap dugaan kecurangan yang dilakukan secara sistematis harus diperiksa. Apalagi dengan dukungan presiden. Pendiri Museum Omah Munir itu mengungkapkan mekanisme yang ada dalam sistem ketatanegaraan hanya sedikit.
“Sudah tugas alias kewajiban DPR mempertanyakan presiden. Kalau kami, warga, sudah setiap hari mempertanyakan, tapi kan kami tidak punya kuasa parlementarian. Maka sudah sepantasnya partai-partai politik yang ada di DPR, apalagi mereka yang diduga ikut dirugikan, harus mempertanyakan lewat hak angket,” kata dia kepada Tempo.co, Senin, 11 Maret 2024.
<!--more-->
“Kalau tidak mau hak angket, justru sebaliknya, mereka jangan-jangan main mata dengan kekuasaan,” ujarnya.
Suciwati yang tak kenal lelah mencari keadilan bagi pelaku penyebab kematian Munir, dan menjadi inisiator aksi Kamisan di depan Istana Merdeka, mengungkapkan tantangan yang dihadapi upaya hak angket itu.
“Khawatir dan tantangannya politik bagi-bagi posisi pada partai-partai politik di kubu 01 dan 03. Atau, perlawanan dari koalisi pendukung di parlemen,” katanya.
Jika hak angket kemudian mati angin dan tidak terlaksana, Suciwati menyayangkannya. “Sangat disayangkan, itu artinya rakyat disuguhi sandiwara pemilu belaka,” kata dia menegaskan.
4. Abraham Samad: Hukum Orang-orang yang Terlibat dalam Kecurangan Pemilu
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK periode 2011-2015 Abraham Samad mengatakan, setelah ia menganalisis Pilpres 2024 dan Pemilu 2024, ada indikasi kuat terjadi banyak kecurangan sejak awal hingga selesainya pesta demokrasi tersebut.
“Ini merusak demokrasi dan menghancurkan hukum kita. Oleh karena itu, semua kecurangan yang terjadi haruslah diselidiki dan diungkap lewat proses hak angket di DPR,” katanya kepada Tempo.co, Senin, 11 Maret 2023.
Abraham mengatakan, dengan hak angket, publik bisa mengetahui secarah utuh mengenai dugaan kecurangan Pemilu dan meminta pertanggungjawaban hukum dari orang-orang yang terlibat.
“Meminta agar hasil dari pemilu dan pilpres ini dibatalkan dan lakukan pemilu dan pilpres ulang,” kata dia.
S. DIAN ANDRYANTO | SULTAN ABDURRAHMAN
Pilihan editor: KPU Minta Rapat Kerja dengan Komisi II DPR Dijadwal Ulang, Ini Alasannya