Politikus PSI Ade Armando Singgung Politik Dinasti Yogyakarta, Begini Lahirnya UU Keistimewaan Yogyakarta
Reporter
Hendrik Khoirul Muhid
Editor
S. Dian Andryanto
Rabu, 6 Desember 2023 07:45 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Politikus Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Ade Armando menyoroti gerakan mahasiswa di Yogyakarta yang menggelar aksi protes terhadap politik dinasti yang dijalankan Presiden Joko Widodo atau Jokowi. Padahal, kata Ade, praktik politik dinasti tersebut justru sebenarnya terjadinya di Yogyakarta. Sentilan itu disampaikannya melalui akun X-nya, @adearmando61 pada Sabtu, 2 Desember 2023.
“Pertanyaannya, kenapa mahasiswa diam saja menyaksikan politik dinasti (di Yogyakarta) yang jelas-jelas bertentangan dengan konstitusi ini? Apakah mereka takut? Atau memang nggak paham apa arti politik dinasti? Ayo gunakan akal sehat, karena hanya dengan akal sehat Indonesia akan selamat,” kata dia.
Ade menyinggung sistem yang berlaku di Yogyakarta akibat adanya Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta nomor 13 tahun 2012. Yang salah satu pembuat UU itu adalah Wakil Ketua Panitia Kerja DPR, Ganjar Pranowo, yang kini maju sebagai calon presiden.
Ungkapan Ade Armando itu langsung menuai reaksi dari masyarakat di Yogyakarta. Kelompok massa yang tergabung dalam Paguyuban Masyarakat Ngayogyakarta untuk Sinambungan Keistimewaan (Paman Usman) mendesak Partai Solidaritas Indonesia (PSI) bersikap tegas pada kadernya, Ade Armando.
Ade Armando dinilai telah menghina Yogyakarta melalui unggahan di media sosialnya. Ade dinilai menyinggung dinasti di Yogyakarta serta soal pengisian jabatan gubernur dan wakil gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang tak melalui sistem pemilu.
Ade mengaku mendengar kabar bahwa akan ada aksi menangkap dirinya dan rencana sejumlah pihak mendatangi kantor PSI di Yogyakarta. Oleh karena itu, Ade pun kemudian meminta maaf bila videonya telah menimbulkan kegaduhan.
"Tapi karena itu mengikuti arahan dari DPP PSI, saya mengajukan permohonan maaf sebesar-besarnya pada segenap pihak bila ternyata video tersebut telah menimbulkan ketersinggungan dan kegaduhan," kata dia.
Lantas bagaimana awal mula pembentukan regulasi keistimewaan Yogyakarta dan alasan ditetapkan menjadi daerah Istimewa?
Selanjutnya: Terbentuknya UU Keistimewaan Yogyakarta, berikut 4 poin penting
<!--more-->
Terbitnya Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta nomor 13 tahun 2012 bermula ketika Sri Sultan Hamengkubuwono X menyatakan keengganannya menjadi gubernur selepas masa jabatan 2008. Pernyataan itu merupakan kelanjutan penegasan Sri Sultan ihwal tidak bersedia menjadi Gubernur seumur hidup.
Hal ini membuat beleid yang berlaku ketika itu jadi rancu. Sebab, jabatan Gubernur Yogyakarta harus Sultan Hamengkubuwono dan ditetapkan oleh DPR, bukan melalui pemilihan.
Ketika itu, ada masyarakat yang menginginkan Gubernur otomatis dijabat Sri Sultan Hamengku Buwono dan Wakil Gubernur diisi Sri Paku Alam. Namun terdapat kelompok masyarakat lain yang menginginkan Gubernur dan Wakil Gubernur diisi melalui mekanisme pemilihan. Pada 2009, pemerintah lalu mencanangkan Rancangan Undang-Undang atau RUU tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogayakarta, cikal bakal Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta nomor 13 tahun 2012.
Seluruh fraksi di DPR RI pun menyetujui RUU untuk segera dibahas bersama-sama dengan Pemerintah. Yogyakarta disebut butuh beleid baru yang diposisikan sebagai upaya menyelesaikan masalah aspek keistimewaan Yogyakarta secara keseluruhan. UU baru ini sekaligus untuk penguatan terhadap NKRI sebagai bagian dari amanat konstitusi dalam rangka memajukan kehidupan, menegakkan keadilan dan menyejahterakan masyarakat Indonesia di Yogyakarta.
Dikutip dari Koran Tempo terbitan Rabu, 8 Desember 2010, Kementerian Dalam Negeri merampungkan draf RUU Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta pada 2010. Dalam draf itu, Sultan Hamengku Buwono X dan Paku Alam, sebagai orang nomor satu dan dua di Yogyakarta, akan ditempatkan sebagai gubernur utama dan wakil gubernur utama. Sementara itu, pemerintahan dijalankan oleh seorang Gubernur di bawah Gubernur Utama tersebut.
“Gubernur itu akan dipilih langsung,” kata Menteri Dalam Negeri saat itu Gamawan Fauzi.
Meski menjadi gubernur utama, Sultan diperbolehkan mengikuti Pilkada satu paket dengan Paku Alam. Jika Sultan ikut Pilkada, ia bisa maju otomatis tanpa perlu diajukan oleh partai politik. Adapun kewenangan Sultan sebagai gubernur utama adalah memiliki hak protokoler dan kedudukan keuangan, memelihara nilai budaya dan sosial masyarakat Yogyakarta. Namun ia tak berhak memberhentikan gubernur, karena gubernur pilihan rakyat.
Pembahasan RUU Keistimewaan Yogyakarta membuat sebagian besar masyarakat Yogyakarta meradang. Mereka menginginkan tempat tinggal mereka tetap menjadi daerah istimewa. Sebagian warga Yogya menilai, draft RUU tersebut seolah melupakan jasa besar Yogyakarta dan kratonnya kepada Republik Indonesia di masa revolusi. Padahal begitu republik ini terbentuk, Keraton Yogyakarta bersama Kadipaten Paku Alaman langsung menyatakan bergabung.
Dinukil dari Koran Tempo edisi 19 Desember 2010, status keistimewaan Yogyakarta diberikan oleh Sukarno, presiden pertama Republik Indonesia, pada 1950. Pemberian ini sebagai penghargaan lantaran Sri Sultan Hamengku Buwono IX sebagai raja di Yogyakarta menyerahkan kedaulatan daerahnya kepada RI. Selain itu, HB IX pulalah yang menyokong keberlanjutan pemerintah Indonesia yang masih muda dan terpaksa pindah ke Yogyakarta karena situasi tidak aman.
Saat situasi keamanan di Jakarta bergolak, Ibu kota republik sempat dipindahkan ke Yogyakarta sejak Januari 1946 hingga Desember 1949. Semua kegiatan dan pembiayaan negara ditanggung Kesultanan Ngayogyakarta. Atas jasa itulah, Maret tahun 1950 keluar Undang-undang Nomor 3 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Setelah sempat menyulut polemik dengan regulasi baru yang diwacanakan pemerintah, Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta akhirnya resmi disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat, Kamis, 30 Agustus 2012. Undang-undang baru setebal 33 halaman itu berisi 26 bab dan 51 pasal. Sejumlah ide ihwal gubernur utama dan gubernur dibatalkan.
Adapun sebagian besar isi UU Keistimewaan Yogyakarta sama dengan provinsi lainnya. Namun beberapa hal sedikit berbeda meliputi: Tata cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas dan wewenang Gubernur dan Wakil Gubernur; Kelembagaan Pemerintah Daerah DIY; Kebudayaan; Pertanahan; Tata Ruang; dan pendanaan.
Berikut beberapa poin yang menjadikan Yogyakarta tetap “Istimewa” berdasarkan UU barunya.
1. Posisi Gubernur tetap dijabat oleh Sultan Hamengkubuwono dan wakil gubernur dijabat Adipati Paku Alam. Ini tertuang dalam Pasal 18 ayat c, Bab VI mengenai Pengisian Jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur. Sebelumnya pemerintah mengusulkan dan meminta agar gubernur dan wakil gubernur dipilih secara demokratis.
2. Gubernur dan wakil gubernur tidak boleh menjadi anggota partai politik. Ini juga tertuang dalam Pasal 18 ayat n, Bab VI . Persyaratan lainnya yang diatur dalam ketentuan ini secara umum sama dengan persyaratan bagi calon gubernur dan calon wakil gubernur di daerah (provinsi) lainnya.
3. Kesultanan dan Kadipaten sebagai “badan hukum” yang mempunyai hak milik atas tanah yang meliputi “tanah keprabon” dan tanah bukan keprabon” yang terdapat di seluruh kabupaten/kota dalam wilayah DIY. Keduanya berwenang mengelola dan memanfaatkan tanah tersebut dengan tujuan pengembangan kebudayaan, kepentingan sosial dan kesejahteraan masyarakat. Soal pertanahan ini tertuang dalam Pasal 33, Bab X.
4. Provinsi DIY memperoleh dana Keistimewaan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dana ini diperuntukkan bagi penyelenggaraan urusan keistimewaan DIY. Soal pendanaan ini tertuang dalam Pasal 42 Bab XIII.
Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sri Sultan Hamengkubuwono X menyatakan pengesahan Undang-Undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai momen bersejarah bagi masyarakat Yogyakarta. Pasalnya, dinamika panjang Undang-Undang tentang Keistimewaan telah selesai, di antaranya tentang jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY.
“Bagi saya, bagaimanapun dengan dinamika yang ada, akhirnya Undang Undang Keistimewaan itu hadir dan sudah disahkan. Bagi saya hari ini jadi momentum bersejarah bagi masyarakat DIY,” ujar Sri Sultan usai dilantik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Gedung Agung Yogya, Malioboro, Yogyakarta, Rabu, 10 Oktober 2012.
HENDRIK KHOIRUL MUHID | MUNAWWAROH | ANDIKA DWI | RIZKI DEWI AYU | PRIBADI WICAKSONO | KORAN TEMPO| ANTARA
Pilihan Editor: Soal Ade Armando, Massa Ancam Propagandakan PSI Partai Terlarang di Yogyakarta