Negara Akui 12 Pelanggaran HAM Berat, Anggota DPR Sebut Pemerintah Harus Ungkap Fakta Kebenaran
Reporter
Ima Dini Shafira
Editor
Juli Hantoro
Kamis, 12 Januari 2023 23:30 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Anggota DPR Komisi Hukum Fraksi Partai NasDem Taufik Basari mengatakan pengakuan negara atas terjadinya 12 pelanggaran HAM berat merupakan batu pijakan untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat serta memenuhi hak korban. Dia menyebut pengakuan ini mesti diikuti dengan rasa penyesalan mendalam atas kesalahan negara yang dibuat pada masa lalu.
Menurut Taufik, pengakuan ini membuka pintu bagi langkah selanjutnya, yakni mengungkapkan fakta kebenaran, mengusut pelaku dan melakukan penegakan hukum, hingga mengidentifikasi korban serta memulihkan dan memenuhi hak mereka.
Di sisi lain, Taufik menyebut pengakuan ini menjadi ajang untuk mengevaluasi dan mereformasi kebijakan, hukum, serta institusi untuk mencegah peristiwa serupa kembali terjadi.
Baca juga: Mahfud MD Sebut Presiden Jokowi Segera Gelar Rapat Bahas Pemulihan Korban Pelanggaran HAM Berat
“Pengakuan negara ini merupakan peristiwa penting dalam kehidupan bernegara karena negara telah mengakui adanya kesalahan di masa lalu yang menjadi catatan kelam dalam sejarah perjalanan kehidupan bangsa,” kata Taufik dalam keterangannya, Kamis, 12 Januari 2023.
Menurut dia, masyarakat perlu menagih kewajiban negara berupa langkah-langkah lanjutan tersebut. Ia berharap sebisa mungkin kewajiban itu dapat dilunasi dalam masa pemerintahan Presiden Joko Widodo alias Jokowi.
Pasalnya, kata dia, penuntasan pelanggaran HAM berat masa lalu merupakan janji politik Jokowi sejak 2014. Adapun upaya yang tersisa disebut Taufik mesti ditindaklanjuti kala pemerintahan berganti pasca 2024.
“Dalam waktu dekat saya berharap pemerintah sudah memiliki program-program tindak lanjut secara sistematis, terukur, realistis, dan komprehensif, termasuk dalam hal penganggarannya dalam APBN ke depan,” ujarnya.
Taufik menjelaskan, korban dan publik punya hak untuk tahu apa yang sebenarnya terjadi. Oleh sebab itu, kata dia, dengan pengakuan ini pemerintah hendaknya memastikan fakta atas peristiwa yang terjadi bisa terungkap.
Selanjutnya, tak boleh tutup upaya yudisial...
<!--more-->
Adapun upaya penanganan non-yudisial terhadap pelanggaran HAM berat disebut Taufik tidak boleh menutup upaya yudisial. Dia mengatakan penanganan non-yudisial dan yudisial harus bersifat komplementer, alih-alih saling menggantikan.
“Pemenuhan hak korban juga tidak boleh digantungkan pada keadaan lain. Korban setelah diindentifikasi harus segera dipenuhi hak-haknya terlepas apakah pelaku sudah didentifikasi, diproses hukum atau dijatuhi putusan,” kata dia.
Jokowi Akui 12 Pelanggaran HAM Berat
Sebelumnya, Presiden Jokowi mengakui adanya 12 pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu. Hal ini disampaikan RI 1 tersebut usai menerima laporan dari Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu di Istana Merdeka, Jakarta Pusat.
"Dengan pikiran yang jernih dan hati yang tulus, saya sebagai Kepala Negara RI mengakui bahwa pelanggaran HAM yang berat memang terjadi di berbagai peristiwa," kata Jokowi di Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Rabu, 11 Januari 2023.
Adapun ke-12 kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang laporannya diserahkan kepada Presiden Jokowi siang itu, yakni Pembunuhan Massal 1965, Peristiwa Talangsari Lampung 1989, Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998, Peristiwa Rumoh Geudong Aceh 1998, dan Kerusuhan Mei 1998.
Lalu Tragedi Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II, Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999, Peristiwa Simpang KKA Aceh 3 Mei 1999, Peristiwa Wasior dan Wamena 2001, Peristiwa Jambo Keupok Aceh 2003, serta Peristiwa Penembakan Misters (Petrus) 1982-1985.
"Saya menaruh simpati dan empati mendalam kepada para korban dan keluarga korban. Oleh karena itu, saya dan pemerintah untuk memulihkan hak-hak para korban secara adil dan bijaksana tanpa menegasikan penyelesaian yudisial," kata Jokowi.
Mahfud Sebut Peristiwa 1965 Bukan Kasus PKI
Menteri Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD menyebut peristiwa pelanggaran HAM berat yang terjadi pada tahun 1965 bukan kasus Partai Komunis Indonesia (PKI). Sebab menurut Mahfud, korban dalam peristiwa itu bukan hanya dari kalangan PKI.
"Kasus 65 itu bukan kasus PKI. Kasus 65 itu korbannya ada yang PKI, ada yang umat, ada yang tentara juga," ujar Mahfud.
Dalam laporan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu, Mahfud menyebut negara bakal memberikan sejumlah bantuan untuk para keluarga korban. Termasuk di antaranya kepada keluarga keturunan PKI yang masih mendapat diskriminasi dari masyarakat.
"Yang perlu ditekankan, jangan lagi-lagi menuduh ini mau mengkerdilkan umat Islam, menghidupkan komunis, enggak. Justru (laporan) ini yang direkomendasikan sekurang-kurangnya ada empat yang basisnya itu Islam," kata Mahfud.
Selain kasus 1965, Mahfud menyebut pihaknya juga bakal memberikan bantuan untuk para korban tiga pelanggaran HAM berat di Aceh dan Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999. Menurut Mahfud, pemberian bantuan untuk para korban di kasus ini bukti pemerintah tidak mendiskreditkan umat Islam
"Di aceh itu ada tiga tadi disebut, ini Islam semua. Kemudian dukun santet, dukun santet itu ulama semua 142, jadi korban dan keluarganya ya sampai sekarang masih menderita sehingga harus kita turun tangan," kata Mahfud MD.
Baca juga: Jokowi Akui 12 Kasus Pelanggaran HAM Berat, SETARA: Hanya Janji Politik, Mustahil Ada Terobosan
IMA DINI SHAFIRA | M JULNIS FIRMANSYAH