Pengamat Nilai Partisipasi Publik dalam Pembentukan KUHP Baru Sangat Rendah
Reporter
magang_merdeka
Editor
Eko Ari Wibowo
Minggu, 18 Desember 2022 18:02 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat Hukum Sekolah Tinggi Hukum Jentera dan Pegiat Hak Asasi Manusia (HAM), Asfinawati mengatakan bahwa derajat partisipasi publik dalam pembentukan KUHP sangat rendah, bahkan cenderung tidak bermakna.
"Jika berbicara tentang hukum, ada undang-undang, ada institusi," ujar Asfinawati dalam diskusi yang bertajuk Ngopi dari Seberang Istana Edisi Khusus Tutup Tahun: Merangkum 2022, Menyambut 2023 melalui kanal Youtube Survei KedaiKOPI pada Ahad, 18 Desember 2022.
Dia mengungkapkan, hukum dalam dunia politik memiliki berbagai macam makna, seperti cerminan politik atau akselerasi. Dalam penjelasannya, jika menurut pandangan perekonomian, terdapat Omnibus Law, dalam kekuasaan terdapat KUHP, dalam korupsi terdapat revisi UU KPK. Hal ini juga dapat diartikan bahwa, KUHP yang baru dianggap sebagai akselerator kekuasaan.
Asfina mengutarakan, jika partisipasi publik merugikan pemerintah, maka Perppu Organisasi Masyarakat (ormas) akan diluncurkan sehingga ormas dapat dibubarkan tanpa pengadilan. Hal ini tentu saja bertentangan dengan Pancasila sebagai dasar negara.
Selain itu dia juga mengatakan bahwa jika partisipasi tersebut dapat menguntungkan pemerintah, maka kata-kata yang akan keluar adalah 'kita tidak bisa membahagiakan semua orang'.
"Jadi aneh ya. Kalau ada kelompok yang bertentangan," kata Asfina mengungkapkan.
Asfina mengatakan pemerintah dalam komunikasi politik menyebut Pancasila dasar negara, dan tidak semua orang di Indonesia bahagia dengan Pancasila. Kendati demikian, hak tersebut tetap diberlakukan.
"Bukan saya tidak mendukung pancasila ya, tapi untuk menunjukkan itu paradoks," kata Asfina.
Selain itu, Asfina mengungkapkan, Mahkamah Konstitusi (MK) sudah pernah memberikan peringatan atas kecenderungan yang terdapat di dalam Omnibus Law Cipta Kerja di mana partisipasi publiknya dianggap tidak bermakna.
Dia menyatakan pemerintah harus memberikan penjelasan jika usulan publik tidak digunakan.
"Kalau ada yang tidak pertimbangkan dan tidak diambil, alasannya harus dijelaskan kepada publik," kata Asfina.
NESA AQILA
Baca: Kemenkumham Sebut Tidak Ada Tumpang Tindih KUHP dengan UU Lain