18 Tahun Munir Dibunuh, Begini Profil Aktivis HAM Pendiri KontraS dan Imparsial Itu
Reporter
RACHEL FARAHDIBA REGAR
Editor
S. Dian Andryanto
Kamis, 8 September 2022 06:36 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Munir dengan nama lengkap Munir Said Thalib S.H. merupakan salah seorang aktivis hak asasi manusia (HAM) di Indonesia kelahiran 8 Desember 1965 di Batu, Kabupaten Malang. Ia merupakan anak keenam dari tujuh bersaudara dari pasangan Said Thalib dan Jamilah.
Pada jenjang pendidikan tinggi, Munir memilih studi ilmu hukum di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang. Semasa kuliah, ia sangat aktif di Asosiasi Mahasiswa Hukum Indonesia, Forum Studi Mahasiswa untuk Pengembangan Berpikir, dan Himpunan Mahasiswa Islam. Ia pun juga memegang jabatan sebagai Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Hukum. Munir berhasil lulus dari Universitas Brawijaya pada 1989.
Setelah usai menempuh pendidikan di bangku kuliah, Munir memulai kariernya sebagai relawan di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya selama dua tahun. Setelah itu, ia memutuskan untuk pindah kembali ke Malang dan mencoba untuk bekerja sebagai kepala pos LBH Surabaya di kota tersebut. Selain itu, Munir juga pernah menjadi Wakil Ketua bidang Operasional YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia), seperti yang dilansir dalam p2k.unkris.ac.id.
Semasa hidupnya, Munir pernah terlibat dalam menangani dan mengadvokasi beberapa kasus pelanggaran HAM di Indonesia, khususnya ketika masa Orde Baru. Ia tercatat pernah menjadi penasihat hukum untuk keluarga tiga orang petani yang dibunuh oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) di proyek Waduk Nipah di Banyuates, Sampang dan keluarga korban penembakan di Lantek Barat, Galis, Bangkalan.
Pada 1998, Munir ikut dalam pendirian Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), sebuah lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang hak asasi manusia, terutama penghilangan paksa dan pelanggaran hak asasi manusia lainnya, sebagaimana dikutip dari Kontras.org. Di sana, ia menjabat sebagai Koordinator Badan Pekerja KontraS yang ikut menangani kasus penghilangan paksa dan penculikan para aktivis HAM (1997-1998) dan mahasiswa korban penembakan Tragedi Semanggi (1998).
Setelah KontraS, Munir menjabat sebagai seorang direktur Imparsial, yaitu sebuah lembaga swadaya masyarakat yang mengawasi penegakan dan penghormatan HAM di Indonesia.
Dengan sangat gigihnya menegakkan HAM kaum tertindas, terlebih lagi kaum buruh, Munir dianugerahi banyak penghargaan. Terbukti pada 1998, majalah Ummat menobatkan Munir sebagai Man of the Year. Lalu, pada 2000, Munir dianugerahi Right Livelihood Award bersama-sama Tewolde Berhan Gebre Egziabher, Birsel Lemke, dan Wes Jackson. Selain itu, UNESCO juga pernah memberikan penghargaan terhadap Munir atas honourable mention pada Penghargaan Madanjeet Singh untuk Pemajuan Toleransi dan Nirkekerasan.
Ironisnya, Munir mengalami kematian yang tragis. Saat berada dalam pesawat untuk melakukan perjalanan dari Jakarta menuju Belanda, Munir dinyatakan tewas karena diracuni arsenik. Munir dinyatakan meninggal pada 7 September 2004.
Jenazah Munir dimakamkan di Taman Makam Umum Kota Batu. Munir meninggalkan seorang istri bernama Suciwati dan dua orang anak, yaitu Sultan Alif Allende dan Diva. Sejak 2005, tanggal kematian Munir, dicanangkan sebagai Hari Pembela HAM Indonesia oleh para aktivis HAM. Selain itu, dalam peringatan satu tahun kematian Munir, dirilis film dokumenter karya Ratrikala Bhre Aditya dengan judul Bunga Dibakar yang tayang di Goethe-Institute, Jakarta Pusat, pada 8 September 2005.
RACHEL FARAHDIBA R
Baca: Bambang Widjojanto Mengenang Aktivis HAM Munir: Saya Meminta Munir Gabung di YLBHI Jakarta
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.