Majelis Rakyat Papua Setor 12 Keputusan ke Tito: Dilarang Jual Beli Tanah Ulayat
Reporter
Fajar Pebrianto
Editor
Juli Hantoro
Rabu, 3 Agustus 2022 19:26 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Majelis Rakyat Papua (MRP) yang selama ini menolak pemekaran wilayah alias Daerah Otonomi Baru atau DOB Papua, bertemu dengan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian. Dalam pertemuan MRP menyerahkan 12 keputusan kultural majelis untuk tahun 2021-2022 kepada Tito.
Keputusan tersebut meliputi larangan jual beli tanah ulayat, hingga perlunya penghormatan hak-hak politik perempuan asli Papua. Keputusan MRP ini dinilai sangat penting untuk mendorong penghormatan terhadap hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat orang asli Papua.
"Keputusan MRP melarang jual beli tanah ulayat dan moratorium sumber daya alam selaras dengan penelitian Amnesty tentang tambang emas di Papua," kata Direktur Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid yang ikut dalam pertemuan, di Komplek Widya Chandra, Jakarta Selatan, Selasa, 2 Agustus 2022.
"Kita harus hentikan kekerasan dan pelanggaran HAM terkait pro dan kontra atas DOB maupun konflik sumber daya alam,” kata dia.
Sebelumnya, DPR sudah mengesahkan RUU DOB Papua yang mengatur pembentukan 3 provinsi baru. Mulai dari Papua Pegunungan, Papua Tengah, dan Papua Selatan. Lalu pada 25 Juli, Jokowi resmi meneken 3 UU yang mengatur pembentukan ketiga provinsi baru ini.
Meski menolak DOB Papua, MRP tetap memberikan masukan kepada pemerintah pusat. Mereka meminta pemerintah menyiapkan langkah antisipasi terhadap potensi gejolak di Papua jika tetap ingin merealisasikan DOB Papua.
Mulai dari pro dan kontra pilihan wilayah yang akan dijadikan ibukota provinsi hingga pro dan kontra terkait siapa pejabat yang akan menjadi gubernur sementara ketiga DOB tersebut. Jika Pemerintah ingin menunjuk Penjabat Gubernur Sementara, MRP meminta sebaiknya sosok tersebut merupakan orang asli Papua.
Orang Asli Papua Jadi Penjabat Gubernur
Wakil Ketua I MRP Yoel Luis Mulait berharap Tito menunjuk orang asli Papua sebagai Penjabat Gubernur Sementara agar tetap sesuai dengan semangat otonomi khusus. Termasuk, sesuai dengan kebijakan afirmatif negara terhadap hak-hak orang asli Papua.
<!--more-->
Jika ditunjuk dari luar Papua, Yoel menilai langkah itu dapat semakin mengurangi rasa kepemilikan orang asli Papua atas kebijakan DOB yang masih menuai pro dan kontra hingga kini.
"Kami di bawah ini merasakan langsung gejolak masyarakat di level bawah. Mohon perhatian serius pemerintah pusat,” kata Yoel.
Sementara, Ketua MRP Timotius Murib menegaskan, pihaknya masih menanti putusan Mahkamah Konstitusi MK terkait uji materi UU Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. “Kami tentu masih menanti dan berharap MK mengabulkan permohonan kami. Setidaknya sebagian dari permohonan kami," kata dia,
Tetapi, Ia juga sadar bahwa terus berjalannya kebijakan pembentukan DOB membuat MRP harus mengambil langkah proaktif. "Yang terpenting itu hak-hak orang asli Papua terpenuhi dan mendapat afirmasi,” kata Timotius.
Menanggapi saran MRP, Tito berjanji akan mempertimbangkan usul tersebut dalam kebijakan Pemerintah pusat. Saat ini, menurut Tito, Kemendagri juga menerima masukan sebagian tokoh di Papua yang justru berharap agar pelaksana gubernur DOB berasal dari non-orang asli Papua.
“Mereka berpendapat, penunjukkan non-OAP sebagai pelaksana gubernur DOB dinilai akan bersikap netral terutama terhadap kemungkinan adanya persaingan antarsesama OAP dalam Pemilu 2024,” kata Tito, seperti yang disampaikan Koordinator Tim Kerja Otsus MRP Benny Sweny.
Baca juga: DOB Papua Baru Disahkan, Konflik Perebutan Ibu Kota Sudah Terjadi