Surya Paloh: Lebih Baik Tak Ada Pemilu Kalau Hanya Buat Perpecahan
Reporter
Dewi Nurita
Editor
Juli Hantoro
Senin, 25 Juli 2022 16:25 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh menyampaikan orasi bertema "Meneguhkan Politik Kebangsaan" saat menerima gelar Doktor Honoris Causa (HC) dari Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur, pada hari ini, Senin, 25 Juli 2022.
Dalam pidatonya, Surya Paloh menegaskan bahwa ia menolak keras eksploitasi politik identitas dalam Pemilu.
Bos Media Grup itu mengkritik realitas politik yang menghalalkan segala cara untuk memperoleh kekuasaan. Menurutnya, saat ini masih terjadi persoalan polarisasi sosial dan kebencian yang merupakan dampak dari kontestasi politik yang menggunakan eksploitasi politik identitas di berbagai lapisannya.
"Pemilu tidak lagi menjadi ruang bagi terlaksananya sirkulasi kekuasaan yang demokratis melainkan ruang adu siasat dan kelicikan berkompetisi. Alih-alih menjadi ruang pendidikan politik, pemilu hanya menjadi ruang perselisihan dan konflik.
Hingga pada akhirnya, pemilu bukan lagi bagian dari upaya mencari solusi atas masalah-masalah bangsa akan tetapi malah menjadi problem baru bagi negara," ujar Surya dalam pidatonya yang dikutip pada Senin, 25 Juli 2022.
Surya menyadari bahwa Pemilu merupakan keharusan sebagai wujud dari praktik demokrasi elektoral. Semua pihak mufakat bahwa Pemilu adalah satu-satunya instrumen peralihan kekuasaan yang sah dalam sistem negara demokrasi.
Ada yang Kebablasan dalam Praktik Politik Kekuasaan
Persoalannya, kata dia, dalam satu dasawarsa terakhir ini terlihat proses politik yang rawan menimbulkan kerusakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ia menilai ada yang kebablasan dalam praktik politik kekuasaan hari ini. Semua pihak seperti merasa sah melakukan segala cara untuk memenangkan ruang kontestasi itu, salah satunya dengan menggunakan politik identitas.
<!--more-->
"Eksploitasi politik identitas hanya akan menciptakan fragmentasi sosial yang mengancam bahkan merongrong eksistensi dan fondasi negara bangsa ini. Praktik ini sangat manifes dan bahkan sangat ekspresif; ini adalah sebuah situasi zaman yang berkembang sebagai lawan tanding globalisasi yang general untuk mereproduksi simbol-simbol yang paling primitif dalam relasi sosial politik peradaban manusia yaitu relasi keluarga, suku, atau agama," tuturnya.
Surya menyebut, politik identitas memang sesungguhnya tidaklah selalu negatif. Dalam sejarahnya, politik identitas lahir dari perjuangan melawan diskriminasi dan ketidakadilan. Namun pada perkembangannya, ia menilai telah terjadi disrupsi, sehingga dimaknai sebagai politik yang mengekslusifkan diri dan tidak mau bergabung dengan kelompok lain, bahkan menganggap kelompoknya paling benar sementara yang lainnya salah.
Ia mengingatkan, pengalaman dua Pilpres terakhir hendaknya cukup menjadi pelajaran bahwa kompetisi dalam pemilu bukanlah segalanya.
"Terlalu mahal pertaruhan yang dilakukan jika hanya untuk berkuasa lima hingga sepuluh tahun, kita mengorbankan sesuatu yang lebih besar, yakni bangunan kebangsaan yang telah berdiri hampir satu abad ini. Bagi saya pribadi, lebih baik tidak ada pemilu jika itu hanya memberikan konsekuensi pada perpecahan bangsa ini," tuturnya.
Surya mengingatkan, persilangan antara politik tanah air yang semakin dinamis menuju 2024 dengan resesi yang tengah melanda dunia saat ini, semestinya membuat semua pihak untuk senantiasa waspada, cermat, dan tidak salah langkah. Politik kebangsaan diharapkan menjadi pilar yang bisa menjadi pegangan bersama.
"Politik Kebangsaan adalah garis politik yang mestinya bisa menjadi komitmen semua partai politik. Di atas politik kontestasi ada politik kebangsaan: politik yang mengarusutamakan kepentingan bangsa di atas kepentingan kami sebagai kelompok politik," ujar Surya.
Ia percaya, tak ada satu partai atau kelompok mana pun yang berniat membelah kembali kohesivitas sosial yang mulai tumbuh kembali ini dengan narasi-narasi kebencian sebagaimana dua pemilu terdahulu.
"Pendiri bangsa ini telah mufakat bahwa Republik Indonesia adalah negara untuk semua; bukan negara untuk satu orang atau satu golongan. Jadi, mengapa kita harus berdiri berhadapan dan saling bersitegang? Marilah saling menyapa, kita tularkan kedewasaan sikap ini kepada seluruh warga bangsa ini. Politik bukanlah saling merendahkan. Pemilu hanyalah siklus lima tahunan. Kekuasaan pun takkan selamanya dipegang, sekuat apapun, di satu waktu pasti akan selesai jua".
Baca juga: Pengamat Minta Jargon Cegah Polarisasi di Pemilu 2024 Bukan Cuma Lip Service Elite Politik
DEWI NURITA