Kisah Kesaksian Soeharto di Balik Kudeta 3 Juli 1946
Reporter
Hendrik Khoirul Muhid
Editor
Dwi Arjanto
Minggu, 3 Juli 2022 23:51 WIB
TEMPO.CO, Jakarta -Tepat Hari ini, 76 tahun silam atau 4 Juli 1946, untuk kali pertama terjadi upaya kudeta di Indonesia dan Letkol Soeharto ditugasi menangkap otaknya.
Pelakunya adalah Mayor Jenderal Soedarsono, bersama Tan Malaka, Achmad Soebardjo, dan Sukarni. Para tokoh pergerakan Persatuan Perjuangan ini merasa tak puas akan kepemimpinan Perdana Menteri Sutan Sjahrir.
Ketidakpuasan atas Perdana Menteri Sutan Sjahrir
Sebelum upaya kudeta terjadi, pada 27 Juni 1946, Sutan Sjahrir dan sejumlah anggota kabinet diculik di Solo oleh orang yang tak dikenal. Belakangan diketahui bahwa dalang dibalik penculikan itu adalah Mayor Jenderal (Mayjen) Soedarsono.
Mayjen Soedarsono memerintahkan Komandan batalyon penjaga kota A.K. Yusuf untuk menculik Sjahrir. Robert Elson dalam buku “Soeharto: Sebuah Biografi Politik” menyebut ada restu Panglima Besar Jenderal Soedirman dalam aksi penculikan Sjahrir. Kala itu Soedarsono memang satu kubu dengan Tan Malaka.
Presiden Sukarno dalam pidatonya pada 28 Juni 1946 menyatakan negara sedang dalam keadaan bahaya. Sehingga seluruh kekuasaan pemerintah diserahkan kembali kepada Presiden Republik Indonesia. Lewat Radio, Soekarno juga mendesak agar Sjahrir dibebaskan. Para penculik menuruti perintah Sukarno. Sjahrir dibebaskan dari sandera.
Pemerintah kemudian berusaha menangkap Soedarsono, dengan memberikan perintah kepada Soeharto yang saat itu masih Letnan Kolonel atau Letkol.
Soeharto dalam bukunya, “Soeharto: Pikiran Ucapan dan Tindakan Saya” mengungkapkan terjadi ketegangan pada 2 Juli 1946. Utusan Istana, Sundjojo, datang ke Markas Resimen III Wiyoro membawa pesan penangkapan Soedarsono dari Sukarno untuk Soeharto.
“Dari Sundjojo saya memperoleh penjelasan mengenai keadaan negara, yang sedang terancam oleh perebutan kekuasaan di mana Mayor Jenderal Soedarsono terlibat, dan saya diperintahkan menangkapnya,” kata Soeharto.
Mayjen Soedarsono kala itu adalah atasan Soeharto. Soeharto mengambil keputusan mengembalikan surat perintah tersebut. Dia meminta agar surat itu diberikan secara hierarki lewat Panglima Besar Jenderal Soedirman. Karena penolakannya itu, Soeharto disebut sebagai “Opsir Koppig” alias Opsir Keras Kepala. Sejumlah pihak menilai tindakan Soeharto ini, meminta penugasan melalui hirarki, telah menyelamatkan upaya kudeta yang pertama.
Setelah menerima surat perintah itu, Soeharto menghadap Soedarsono. “Saya tidak melaporkan bahwa ada perintah untuk menangkap, tetapi yang saya laporkan ialah adanya informasi tentang Lasykar Pejuang yang belum jelas, yang akan menculik Mayor Jenderal Soedarsono. Dengan demikian, keselamatan beliau terancam,” kata Soeharto dalam buku biografinya yang ditulis G. Dwipayana dan Ramadhan KH.
Soeharto menyarankan untuk sementara Soedarsono pindah ke Resimen III Wiyoro bersamanya. Sebab Resimen tersebut sudah dalam keadaan siaga penuh menghadapi segala kemungkinan. Soedarsono setuju, menjelang Magrib ia tiba di Markas Resimen III Wiyoro tanpa pengawal. Ketika keluar dari mobil, dia menunjukkan surat telegram dari Panglima Besar Jenderal Soedirman, yang isinya menyebutkan dirinya harus menghadap segera.
“Saya tidak dapat berbuat apa-apa kecuali memberikan pengawalan dengan satu peleton berkendaraan truk,” ujar Soeharto.
Soeharto kemudian menerima telepon dari Jenderal Soedirman...