Ahli Hukum Tata Negara dan Pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Bivitri Susanti saat mengikuti audiensi terkait polemik TWK di Kantor Komnas HAM, Jakarta, Senin, 14 Juni 2021. TEMPO/M Taufan Rengganis
TEMPO.CO, Jakarta -Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti mengatakan pemerintah dan DPR melanggar konstitusi bila buru-buru mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau RKUHP.
Menurut Bivitri, RKUHP seharusnya dibahas ulang, bukannya langsung disahkan dalam waktu dekat ini. “Ini bukan praktek yang konstitusional,” kata Bivitri dalam diskusi daring, Jumat, 17 Juni 2022.
Dia menuturkan RKUHP adalah RUU carryover atau dioper ke periode berikutnya karena tidak tuntas dibahas oleh DPR periode 2014-2019. Sejauh ini, narasi dari pemerintah dan DPR malah sebaliknya, yakni karena RUU ini operan, maka bisa langsung disahkan. Menurut Bivitri, pandangan itu salah.
Karena RUU operan, kata dia, maka seharusnya DPR dan pemerintah melakukan kembali pembahasan tingkat 1 tentang substansi rancangan. Terlebih, kata dia, Wakil Menteri Hukum dan HAM Eddy S. Hiariej pernah mengatakan bahwa terdapat perubahan di naskah RKUHP.
Karena adanya perubahan itu, menurut Bivitri, pemerintah dan DPR mesti membahas RKUHP dari awal, bukannya mengesahkan aturan kontroversial itu secara langsung. “Tidak boleh suatu RUU yang mengatur A, lalu diketok palu sebagai yang mengatur B,” kata dia.