Wawancara Yahya Staquf: Saya Tak Ingin Ada Capres dari NU Pada 2024
Reporter
Friski Riana
Editor
Syailendra Persada
Selasa, 12 Oktober 2021 05:02 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Nahdlatul Ulama, akan menggelar Muktamar ke-34 di Lampung, pada Desember 2021. Salah satu agendanya adalah pemilihan ketua umum Pengurus Besar NU.
Katib Aam PBNU Yahya Cholil Staquf mengajukan diri sebagai kandidat. Ia mengaku sudah berkomunikasi dengan Ketua Umum PBNU saat ini, Said Aqil Siradj, mengenai rencananya tersebut. “Saya sudah menghadap beliau minta restu. Beliau merestui,” kata Yahya kepada Tempo, Senin, 11 Oktober 2021.
Yahya merupakan saudara kandung Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas. Pria asal Rembang, Jawa Tengah, ini merupakan putra dari almarahum Cholil Bisri, pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibien Rembang yang juga pendiri Partai Kebangkitan Bangsa. Yahya juga merupakan keponakan dari ulama Mustofa Bisri atau Gus Mus.
Nama Yahya mulai dikenal ketika ditunjuk sebagai juru bicara Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Pria 55 tahun ini juga pernah menjadi anggota Dewan Pertimbangan Presiden pada 2018-2019 untuk menggantikan Hasyim Muzadi yang wafat pada 2017. Saat itu, Yahya menjadi atensi publik setelah hadir mengisi kuliah umum ICFR oleh American Jewish Committee (AJC) di Israel.
Beirkut petikan wawancara Tempo dengan Yahya Cholil Staquf mengenai rencananya maju sebagai calon ketua umum PBNU.
Kapan Anda berkomunikasi dengan Said Aqil Siradj?
Awal September tanggal 3 di rumahnya
Apa yang melatarbelakangi keinginan Anda maju sebagai calon ketua umum PBNU?
Saya yakin ada sejumlah hal strategis yang bisa dan harus dikerjakan dalam NU, dan untuk itu saya ingin menawarkan diri untuk melaksanakan itu, gagasan-gagasan itu.
Apa saja gagasan tersebut?
Ada dua hal, saya melihat program NU harus direorientasikan dengan cara desentralisasi secara terkonsolidasi. Nanti pengurus besar merumuskan agenda-agenda, tapi pelaksanaan agenda-agenda itu dilaksanakan di cabang, kabupaten-kabupaten. Jadi, yang mengkonsolidasikan pengelolaannya secara nasional.
Kedua, NU sebagai organisasi harus melakukan repositioning politik supaya jangan sampai menjadi pihak dalam kompetisi politik. Karena ke depan ini, kompetisi politik ini cenderung lebih intens, lebih rawan. Sehingga diperlukan satu komponen sosial yang cukup kuat untuk menjadi penyangga sistem. Supaya kalau ada kontraksi bisa jadi semacam penjaga harmoni dalam masyarakat. Karena itu tidak boleh jadi pihak. Kalau NU jadi pihak, NU tidak bisa menjadi pendamai.
Gagasan kedua tersebut ada kaitannya untuk Pemilu 2024 nanti ya Gus?
Betul. Saya katakan, saya tidak ingin di Pemilu 2024 nanti ada calon presiden dari PBNU. Dan saya tidak ingin juga ke depannya menjadi pola, menjadi model yang diajekkan (tetap), supaya NU bisa jadi milik semua orang, menyediakan ruang untuk semua pihak.
Kerawanan apa yang akan mengancam NU di Pemilu 2024?
Saya melihat keberhasilan mendudukkan wapres (wakil presiden) di Pemilu lalu bisa mendorong para aktivis NU untuk mengulangi lagi, dan itu bisa punya akibat-akibat yang rawan untuk NU. Yang rugi bukan cuma NU, tapi saya kira potensial bangsa juga kehilangan satu komponen yang punya kapasitas untuk menjadi penyangga sistem, supaya tidak terjadi pembelahan berkepanjangan.
Apa maksud dari gagasan pertama mengenai reorientasi program-program PBNU?
Jadi selama ini NU ini kan ada di pusat, provinsi ada PWNU, wilayah di kabupaten/kota PCNU. Selama ini masing-masing menjalankan programnya sendiri-sendiri tanpa terhubung satu sama lain. Nah, ke depan ini harus ditata ulang menurut saya. Sehingga apa yg dilakukan ini menjadi pelaksanaan dari agenda-agenda nasional yang bernilai transformatif ke arah lebih baik. Karena pekerjaannya di agenda-agenda itu dirumuskan di tingkat pusat, pelaksanaan eksekusi pekerjaannya di tingkat cabang. Tugas PBNU mengkoordinir sinergi dalam pelaksanaan itu, mengkonsolidasikan instrumen-instrumennya sehingga benar-benar program itu berjalan sebagai agenda nasional, dengan hasil dan dampak yang terasa secara nasional.
Agendanya apa saja?
Membangkitkan ekonomi. Kita membutuhkan pemicu di banyak titik yang luas supaya ekonomi masyarakat betul-betul bergulir kembali sejak pandemi. NU ini punya 536 cabang di setiap kab kota, bahkan ada kab kota yang cabangnya berganda. Nah, di situ cabang-cabang itu menjadi outlet untuk program-program ekonomi. Sehingga agenda itu terwujud dengan sebaran nasional. Tentu nanti ada agenda lain di berbagai bidang, seperti pendidikan, kesehatan.
Apa agenda utamanya?
Terutama, ya, mengukuhkan lebih pada menuntaskan wawasan keagamaan terkait dengan bangsa dan negara. Supaya keberadaan bangsa dan negara, NKRI, Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika diterima secara tuntas dalam wawasan keislamaan. Kita butuh beberapa langkah lagi kalau masih ada yang perlu dilakukan.
Ada strategi khusus untuk menghadapi Kiai Said yang merupakan inkumben?
Satu-satunya yang saya lakukan mengkomunikasikan gagasan dengan pengurus wilayah dan cabang, dan mereka yang mempertimbangkan, menilai, dan membuat keputusan.
Sudah ada pendekatan dan dialog dengan pengurus wilayah?
Sudah. Di Jawa Tengah dan Jawa Timur, Sumatera Barat, Lampung, Sumatera Selatan, Bengkulu, di Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi Barat, Maluku Utara, Maluku.
Sejak kapan pendekatannya?
Baru mulai September kemarin.
Baru mulai bulan kemarin tapi sudah sebanyak itu Gus dialog dengan pengurus daerah?
Saya sendiri agak terkejut karena dengan cepat menarik perhatian pengurus-pengurus wilayah dan cabang, sehingga permintaan untuk bisa melakukan diskusi itu terus sampai sekarang.
Respons pengurus bagaimana?
Saya merasa kuat sekali
Optimististis ya Gus?
Ya, optimistis enggak optimis pokoknya saya punya gagasan (membangun NU), orang tahu trek rekor, apa yang saya lakukan selama ini, ya silakan.
Baca juga: Dinamika Menjelang Muktamar NU Diharapkan Tak Sampai Saling Menjatuhkan