Djarot Saiful Hidayat : PPHN Penting Untuk Indonesia
Selasa, 14 September 2021 15:18 WIB
INFO NASIONAL-Kehadiran Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) penting untuk bangsa Indonesia. Alasannya karena menjadi peta jalan atau road map, bagaimana wajah Indonesia pada 25 atau 50 tahun ke depan.
“Ketika tidak ada haluan negara, apa yang kita alami adalah ketidakselarasan antara visi misi gubernur, visi misi bupati atau walikota, dan visi misi presiden. Selain itu tidak ada keberlanjutan dan kesinambungan pembangunan,” kata Ketua Badan Pengkajian MPR Djarot Saiful Hidayat dalam Empat Pilar MPR dengan tema “Urgensi PPHN dalam Pembangunan Nasional” di Media Center MPR/DPR/DPD, Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin 13 September 2021.
Turut berbicara dalam diskusi ini Ketua Fraksi Partai Nasdem MPR Taufik Basari dan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Parahyangan Prof Dr Asep Warlan Yusuf, SH, MH.
Djarot Saiful Hidayat mengungkapkan hasil kajian Badan Pengkajian MPR “Rekomendasi Badan Pengkajian Tahun 2020” menyangkut tentang haluan negara sudah disampaikan kepada Pimpinan MPR. “Rekomendasi ini sudah disepakati seluruh anggota Badan Pengkajian MPR dan ditandatangani Pimpinan Badan Pengkajian,” ujarnya.
Menurut Djarot, dalam rekomendasi itu disebutkan bentuk hukum untuk PPHN yang terbaik adalah Ketetapan MPR.Sehingga perlu dilakukan amandemen terbatas khususnya terkait dengan Pasal 3 dan Pasal 23 UUD NRI Tahun 1945 dengan memberikan tambahan kewenangan kepada MPR untuk merumuskan dan mengubah PPHN.
Djarot menuturkan, ketika Ketua MPR menyampaikan soal amandemen terbatas UUD ini dalam Sidang Tahunan MPR dan Peringatan Hari Konstitusi, amandemen ini “digoreng”. “Sehingga merambat kemana-mana sampai masa jabatan presiden tiga periode, dan membuka kotak pandora. Padahal kami (Badan Pengkajian) tidak pernah mengkaji pasal-pasal lain di luar Pasal 3 UUD NRI Tahun 1945,” kata politisi PDI Perjuangan ini.
Sementara itu Taufik Basari mengungkapkan fraksinya belum melihat urgensi MPR melakukan amandemen terbatas terhadap UUD 1945. Menurutnya, ada tiga alasan amandemen UUD belum urgen. Pertama, hasil kajian (Badan Pengkajian) MPR harus diuji publik..
Kedua, agar mendapat legitimasi moral melakukan amandemen UUD, maka MPR harus melakukan konsultasi publik yang massif. Karena amandemen UUD persoalan fundamental, maka harus datang dari bawah. “Jangan sampai gagasan amandemen itu adalah gagasan elit,” ujarnya. Ketiga, karena masih dalam masa pandemi Covid-19, maka amandemen UUD bukan sesuatu yang urgen.
Sedangkan Prof Asep Warlan Yusuf mengatakan, Garis-Garis Besar Haluan negara penting tapi tidak emergensi. Alasannya, ada lima isu yang harus dijabarkan dalam haluan negara. Pertama, bagaimana memantapkan ideologi Pancasila. Kedua, bagaimana membangun demokrasi yang beradab. Ketiga, mewujudkan negara hukum yang berkeadilan. Keempat, mewujudkan negara kesejahteraan. Kelima, bagaimana menata kelembagaan negara.
Asep Warlan setuju bila bentuk hukum haluan negara adalah Ketetapan MPR (TAP MPR), bukan UU. Sebab, materi UU mudah diubah. Selain itu, UU juga bisa diajukan judicial review ke MK, dan bisa dibatalkan.“TAP MPR sebagai payung hukum haluan negara adalah sangat mendasar sebagai landasan bagi penyelenggara negara bekerja,” katanya.
Namun, Asep mengatakan payung hukum haluan negara dalam bentuk TAP MPR dilakukan bukan dengan cara mengamandemen UUD. “Agak kurang pas kalau hanya untuk haluan negara harus dilakukan melalui amandemen UUD. Sebab, amandemen memerlukan argumentasi yuridis dan filosofis yang sangat kuat. Alasan memasukkan haluan negara dalam amandemen UUD adalah kurang kuat dan kurang pas,” ujarnya.
Menurutnya, MPR bisa mengubah TAP MPR karena lembaga yang membuatnya bisa juga mengubah TAP. “Jadi, jalan keluarnya tidak harus dengan melakukan perubahan atau amandemen UUD, melainkan ubah saja TAP MPR yang ada,” katanya.(*)