Merawat Mangrove di Pesisir Indonesia
Selasa, 8 Juni 2021 11:23 WIB
INFO NASIONAL-Mangrove Indonesia berdasarkan peta mangrove nasional(KLHK, 2013) luasnya mencapai 3.3 juta hektare(ha). Rinciannya kondisi mangrove yang kritis (kerapatan tajuk kurang dari 50 persen),lebih dari 637 ribu ha (19 persen), dan mangrove dalam kondisi baik mencapai 2.673.000 ha (81 persen).
Dari 637 ribu ha mangrove yang kritis, lebihdari177 ribu ha (28 persen)di luar kawasan hutan,sedangkan mangrove kritis berada di kawasan hutan lebih dari 460 ribu ha (72 persen), merupakan kewenangan KLHK dan BRGM.
Mangrove kritis di luar kawasan hutan seluas 64 ribu ha berada di wilayah pesisir, yang menjadi urusan Kementrian Kelautandan Perikanan (KKP) beserta instansi lainnya. Adapun sisanya 113 ribu ha, tersebar di daratan, pesisir maupun lahan gambut menjadi urusan KLHK dan BRGM. Mangrove di pesisir hendaknya menjadi perhatian serius pemerintah karena 60 persen penduduk Indonesia bermukim dan memanfaatkan sumber daya alam di sana.
Hasil survei dan pendataan spasial (KKP, 2020),kondisi mangrove di wilayah pesisir Indonesia seluas 64 ribu menunjukkan luasan mangrove kritis yang tidak dapat direhabilitasi lagi akibat alih fungsi lahan lebih dari 32 ribu ha (50 persen), diantaranya menjadi permukiman, perkebunan,pertambakan danp ertanian. Adapun mangrove yang sudah pulih mencapai 26 ribu ha (40 persen), sedangkan mangrove kritis yang layak direhabilitasi lebih dari 6.000 ha (10 persen).
Mangrove kritis yang tidak dapat direhabilitasi terjadi akibat kepentingan ekonomi dan pembangunan sehinggga lahan mangrove dialihfungsikan menjadi permukiman, perkebunan, pertambakan, maupun kawasan ekonomi lainnya. Adapan areal mangrove yang sudah pulih merupakan Kawasan konservasi, dan selalu dijaga bersama kelompok masyarakat pengawas (pokmaswas).
Mangrove kritisyang layak direhabilitasi terjadi akibat aktivitas ekonomi dan pembangunan, serta bencana alam yang mengakibatkan gelombang besar di wilayah pesisir.Bila pemerintah tidak segera melakukan intervensi kebijakan pada aspek sosial, ekonomi dan lingkungan, maka kawasan mangrove tersebut menjadi kritis.
Tahap awal pengelolaan mangrove di wilayahpesisir dapat dilakukan dengan mengidentifikasi dan memetakan secara spasial luasan kawasan mangrove dan memastikan status lahannya. Jika status lahan mangrove berupa areal penggunaan lainnya (APL), maka pemerintah pusat bersama pemerintah propinsi dan kabupaten/kota mendorong perubahan status lahan menjadi Kawasan konservasi disertai pengawasan dan sanksit egas.
Apabila kawasan mangrove terlanjur alih fungsi lahan, maka pemerintah harus bertindak cepat mencari lahan pengganti, dan menetapkannya menjadi kawasan konservasi disertai program rehabilitasi mangrove.
Selanjutnya, seluruh kawasan konservasi yang telah dan akan dipetakan secara spasial pada rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RZWP3K), diintegrasikan ke dalam rencana tata ruang wilayah (RTRW) atau kawasan strategis nasional (KSN), dengan status kawasan konservasi, yang dipayungi perda atau perpres.
Langkah diatas hendaknya dikolaborasikan dengan program pengelolaan kawasan mangrove .Ini memadukan kombinasi antara pemulihan ekosistem pesisir dan peningkatan ekonomi masyarakat melalui kegiatan padat karya penanaman mangrove secara luas dan masif, dengan melibatkan150 kelompok penggiat mangrove. Sampai tahun 2020, pengelolaan kawasan mangrove sukses meningkatkan pendapatan masyarakat pesisir di Lombok Barat, Brebes, Lampung Timur dan Pasuruan.
Dukungan dan partisipasi swasta maupun BUMN mewujudkan mangrove sebagai destinasi wisata alam yang bernilai ekonomi tinggi, sangat dibutuhkan. Ini mencakup kegiatan penanaman dan pembibitan mangrove, bantuan pelatihan dan penyediaan sarana produk olahan turunan mangrove dengan berbagai program corporate social responsibility (CSR) dan pembangunan tracking mangrove untuk mendorong tumbuhnya kawasan ekonomi. (*)
Ditulis oleh Rido Miduk Sugandi Batubara, Ahli Madya Pengelola Ekosistem Laut dan Pesisir (PELP) Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut, KKP