Korban UU ITE Mendesak Revisi, Ada Baiq Nuril dan Komika Muhadkly Acho
Reporter
Budiarti Utami Putri
Editor
Aditya Budiman
Minggu, 21 Februari 2021 07:04 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Para korban penerapan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) kompak mendesak revisi terhadap UU Nomor 11 Tahun 2008 itu. Berkumpul di acara "Mimbar Bebas Represi" yang digelar koalisi masyarakat sipil, mereka juga menceritakan kembali dampak pemidanaan dengan UU ITE yang mereka alami.
Baiq Nuril, korban UU ITE yang dilaporkan karena merekam dugaan pelecehan seksual oleh atasannya, berharap UU ITE betul-betul direvisi. Nuril mengatakan sangat tak menyenangkan menjadi korban UU ITE seperti yang dia alami.
"Butuh perjuangan untuk membuktikan kita tidak bersalah. Mencari keadilan itu sangat butuh pengorbanan," kata Nuril, Sabtu, 20 Februari 2021.
Nuril mendapatkan amnesti dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) setelah permohonan peninjauan kembali (PK) yang dia ajukan ditolak Mahkamah Agung. Nuril, yang kasusnya bergulir mulai 2017 mendapat perhatian dan dukungan luas dari publik.
Komika Muhadkly Acho menilai pasal-pasal karet UU ITE sangatlah bermasalah. Ia menganggap pemerintah tak cukup hanya membuat pedoman interpretasi. Menurut Acho, langkah membuat pedoman interpretasi adalah upaya jalan di tempat.
"Kalau ada UU yang sebegitu luasnya bisa menimbulkan interpretasi berbeda, pilihannya cuma dua, pasalnya memang karet atau harus enggak ada," kata Acho.
Pada 2017, Acho dilaporkan ke polisi setelah menulis kekecewaannya membeli Apartemen Green Pramuka di blog pribadinya. Pelapor adalah kuasa hukum dari pihak pengembang.
<!--more-->
Kasus serupa juga dialami Marco Kusumawijaya, pakar tata kota sekaligus mantan Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP) Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Marco dilaporkan oleh Masco Afrianto Lumbantobing karena cuitannya di Twitter soal protes terhadap pasir putih Bangka di Jakarta untuk reklamasi PIK 2.
Menurut Marco, selain pasal multitafsir UU ITE, persoalan juga terjadi dalam penegakan hukum oleh Kepolisian. "Hanya memang sesuatu yang multitafsir jadi lebih menyenangkan saja buat operasi orang-orang berkuasa dan terutama polisi ini. Setuju fokus pada revisi UU ITE ini, tetapi jangan lupa soal-soal lainnya," kata Marco.
Jurnalis Diananta Putra Sumedi, yang pernah dipidana dengan kasus ITE, juga menyampaikan harapannya terkait revisi UU ITE. Diananta menilai UU ITE sangat represif.
Dalam kasusnya, UU ITE tetap diberlakukan meskipun masalah etik jurnalistik yang terjadi itu sebenarnya sudah rampung di Dewan Pers. "Saya pribadi berharap pernyataan Presiden itu bukan hanya janji manis semata," ucap Diananta.
Aktivis dan peneliti kebijakan publik, Ravio Patra, mengatakan revisi UU ITE diperlukan mengingat meningkatnya penyiksaan digital (digital torture) di Indonesia. Ravio mencontohkan, dirinya dikenai UU ITE dengan tuduhan menghasut, padahal telepon ponselnya diretas. Di sisi lain dia juga diserang para buzzer dan keluarganya mengalami teror.
Ravio menyoroti adanya anggapan pemerintah dan DPR bahwa korban UU ITE adalah mereka yang sampai dipenjara kendati tak bersalah. Menurut Ravio, tanpa dipenjara pun, semua proses hukum terkait ITE itu sudah amat mengganggu.
"Itu luput dari pandangan pemerintah dan DPR. Kalau dipaksa, dibawa polisi, dinarasikan provokator dan macam-macam, itu sudah cukup bikin hidup orang berantakan," kata dia.
<!--more-->
Menurut aktivis Papua Veronica Koman, pelanggaran kebebasan berpendapat dengan UU ITE bukan cuma terjadi ketika sudah tahap pemenjaraan. Namun kata dia, pelanggaran terjadi sejak seseorang merasa takut menyampaikan pendapatnya karena khawatir dikenai UU ITE.
"Ketika kita sebagai warga negara mau posting sesuatu, kita berpikir sepuluh kali sebelum posting karena bayang-bayang teror UU ITE, itu udah pelanggaran," kata Veronica.
Dosen Universitas Syah Kuala Banda Aceh Saiful Mahdi, yang juga korban UU ITE, meminta pemerintah melibatkan berbagai kelompok masyarakat sipil, akademisi, dan Komnas HAM dalam proses perbaikan UU ITE. Namun ia menilai sebenarnya tak perlu ada tim anyar, mengingat sudah banyak pihak yang melakukan kajian terkait UU ITE.
"Negara tidak perlu keluarkan biaya lagi untuk membuat kajian, tim ini, tim itu, yang biasanya sangat mahal untuk membuat interpretasi," kata Saiful.
Setelah bertahun-tahun disuarakan, desakan merevisi UU ITE dinilai mendapat momentum lantaran Presiden Jokowi menyatakan terbukanya peluang itu pada Senin, 15 Februari 2021. Namun, keraguan muncul lantaran sejumlah anak buah Jokowi malah mengarahkan pada pembuatan interpretasi resmi atas pasal-pasal multitafsir di UU ITE.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md telah membentuk dua tim, yakni untuk mengkaji revisi dan untuk membuat pedoman interpretasi UU ITE. Mahfud berjanji akan melibatkan kelompok masyarakat sipil dan prodemokrasi dalam tim pengkaji revisi ini.
Baca juga: Jokowi Minta Revisi UU ITE, Ini Aneka Respon Anak Buahnya
BUDIARTI UTAMI PUTRI