Dipecat dari Keraton, Yudhaningrat: untuk Muluskan Suksesi Putri Sultan HB X
Reporter
Pribadi Wicaksono (Kontributor)
Editor
Eko Ari Wibowo
Minggu, 24 Januari 2021 16:16 WIB
TEMPO.CO, Yogyakarta - Adik tiri Sri Sultan Hamengku Buwono X, Gusti Bendara Pangeran Hario (GBPH) GBPH Yudhaningrat, menilai pemecatan dirinya dari jabatan struktural Keraton sebagai satu jalan semakin memuluskan calon pengganti Sultan HB X di masa depan.
"Ya indikasinya (melancarkan jalan suksesi Keraton) itu," ujar Yudhaningrat kepada Tempo Sabtu 23 Januari 2021.
Sultan HB X telah menerbitkan surat pada 2 Desember 2020 terkait pemberhentian dua adik tirinya yakni GBPH Prabukusumo dan GBPH Yudhaningrat dari jabatan Penggedhe Kawedanan Hageng Punakawan (KHP) Parwa Budaya dan KHP Nitya Budaya.
Dipecatnya mereka dari jabatan struktural Keraton itu, otomatis membuat keduanya kian terlempar ke luar arena dinamika kerajaan Mataram Islam itu.
Baca: Adik Tiri Sultan HB X Bilang Nasib Keraton Yogyakarta Tergantung Nasab dan Nasib
Mereka jadi kian buta dan tak akan tahu informasi baru lagi jika ada perkembangan internal Keraton, termasuk isu-isu suksesi ke depan.
Prabukusumo juga Yudhaningrat, sejak 2015 silam merupakan penentang utama Sabda Raja Sultan HB X paling getol. "Memang cuma saya dan Mas Prabu (Prabukusumo) yang paling terlihat menentang Sabda Raja itu, karena lainnya (putra-putri HB IX) do wedhi (takut)," ujar Yudha.
Bagi keduanya, Sabda Raja itu merusak tradisi adat Keraton (paugeran) yang sudah terjaga ketat sejak masa HB I hingga HB IX.
Sabda Raja pada Mei 2015 silam sendiri antara lain berisi pengubahan gelar raja yang sudah dianut sejak masa HB I-HB IX seperti Buwono menjadi Bawono.
Sabda itu, juga memuat penetapan putri sulung HB X, Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Pembayun sebagai putri mahkota bergelar GKR Mangkubumi, sebuah nama yang sangat lekat maknanya sebagai nama calon raja Keraton.
Sebelum ditahbiskan sebagai raja ke sepuluh 7 Maret 1989 silam, nama dewasa HB X adalah Kanjeng Gusti Pangeran Hario (KGPH) Mangkubumi.
Yudhaningrat pun mengatakan, karena ia paling vokal menentang Sabda Raja HB X itu, ia pun didapuk para rayi dalem lain menjadi juru bicara perlawanan saat muncul gugatan terhadap pasal 18 ayat (1) huruf m Undang-Undang Keistimewaan DIY oleh sejumlah aktivis perempuan di Mahkamah Konstitusi tahun 2016 silam.
Para aktivis perempuan dari kalangan akademisi saat itu menggugat isi pasal 18 huruf m UU Keistimewaan karena menilainya diskriminatif terkait hak perempuan di bidang politik menjadi kepala daerah.
Dalam pasal 18 itu menyebut bahwa calon Gubernur dan calon Wakil Gubernur DIY adalah warga negara Republik Indonesia yang sudah memenuhi syarat dan menyerahkan daftar riwayat hidup.
Daftar riwayat hidup yang diserahkan harus memuat riwayat pendidikan, pekerjaan, saudara kandung, istri, dan anak.
<!--more-->
Kata ‘istri’ dalam daftar riwayat hidup itu kemudian dipersoalkan dan akhirnya digugat. Sebab, secara tak langsung merujuk bahwa calon gubernur dan wakil gubernur harus laki-laki. Setahun kemudian, yakni tahun 2017, MK mengabulkan gugatan itu dan menghapus kata 'istri' dalam pasal itu.
"Saya sampai bertengkar dengan hakim MK waktu itu, kalau kata 'istri' dihapus justru menabrak peraturan perundangan yang sudah ada," ujar Yudha.
Sebab, pembelaaan Yudha saat itu, dalam UU Keistimewaan khususnya pasal 18 poin 1.c UU Keistimewaan DIY itu, jelas mengatur jika gubernur DIY ditetapkan kepada yang saat itu bertakhta sebagai Sultan Hamengku Buwono atau raja keraton.
"Waktu (pasal 18 digugat MK) itu saya minta hakim membaca seluruh pasal (tidak hanya aturan pada huruf m), wong disebutkan kalau yang namanya gubernur DIY itu harus sultan bertahta secara sah sesuai paugeran yang ada (laki-laki)," ujarnya.
Dalam UU Keistimewaan itu juga menyebut yang dimaksud Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat adalah warisan budaya bangsa yang berlangsung secara turun-temurun dan dipimpin oleh Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senapati Ing Ngalaga Ngabdurrakhman Sayidin Kalifatullah Panatagama adalah Sultan Hamengku Buwono.
"Pengesahan (penghapusan huruf m pasal 18 UU Keistimewaan) itu semakin merusak tatanan adat Keraton," ujar Yudhaningrat.
Yudhaningrat menuturkan dengan tersingkirnya dirinya dan Prabukusumo dari Keraton pasca pemecatan itu, ia menganggap Keraton (Sultan HB X) memang sudah tak punya pembangkang kuat jika hendak melakukan suksesi sesuai pilihannya.
"Ya saya dan mas Prabusumo kan seperti TO (target operasi) nya Keraton yang dipimpin Pak Bawono (Sultan HB X) saat ini," ujarnya.
Tersingkirnya Prabukusumo dan Yudhaningrat menyisakan segelintir pangeran saja dalam struktural Keraton Yogya saat ini yang tak setuju Sabda Raja itu.
Satu diantara yang tersisa di struktural itu adalah adik kandung Sultan HB X sendiri yakni KGPH Hadiwinoto yang menjabat sebagai Penghageng Kawedanan Hageng Punokawan Parasraya Budaya Keraton.
Bidang Hadiwinoto ini lebih strategis dan krusial dibanding yang diemban Prabukusumo dan Yudhaningrat sebelum dipecat.
Hadiwinoto mengurusi administrasi dan legalisasi tanah-tanah Sultan Ground yang tersebar di DIY.
Hadiwinoto juga punya jabatan prestisius yakni sebagai Lurah Pangeran Kraton Yogyakarta atau isitilahnya kepala paguyuban putra-putri HB IX.
Disinyalir, posisi Hadiwinoto lebih aman meski menentang Sabda Raja karena ia menjadi orang satu satunya yang telah disahkan oleh notaris sebagai pihak yang berwenang mengurusi berbagai persoalan menyangkut tanah-tanah Sultan Ground atau SG yang sampai kini masih berlangsung sertifikasinya.
"Masalahnya kalau menyangkut tanah SG yang teken kan harus mas Hadiwinoto, beliau juga sudah disahkan notaris statusnya sebagai satu satunya yang berwenang mengurusi tanah," ujar Yudha.
Yudha menuturkan, dengan tersingkirnya ia dan Prabukusumo, memang seolah tinggal Hadiwinoto yang masih berpeluang menjadi raja Keraton berikutnya.
Terlebih jabatan Hadiwinoto adalah lurah pangeran bergelar kanjeng gusti.
"Kalau merunut nasab Keraton, seharusnya kandidat terkuat (pengganti raja berikutnya) ya Gusti Hadiwinoto, apalagi beliau satu ibu satu bapak dengan Sultan HB X," ujarnya.
Namun, Hadiwinoto termasuk gerbong yang melawan Sabda Raja HB X.
Pengamat yang juga Dosen Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Bayu Dardias Kurnia turut menganalisa peta suksesi Keraton Yogya dari kasus pemecatan dua adik HB X itu.
Bayu tak menepis kandidat terkuat dari 10 putra-putri Sultan HB IX yang yang paling berpeluang menggantikan HB X memang adik kandung Sultan HB X yakni KGPH Hadiwinoto jika suksesi ditarik garis darah laki-laki paling berhak.
"Tapi suksesi itu kan hak prerogratif Sultan HB X, siapa yang akan ditunjuk (jadi raja) terserah beliau," ujar Bayu kepada Tempo.
Bayu menilai, Hadiwinoto bisa menjadi raja berikutnya hanya jika suksesi Keraton disepakati menyamping atau ke adik Sultan, bukan secara vertikal atau ke anak Sultan. Mengingat HB X tak memiliki anak laki-laki.
"Kalau suksesi menyamping, kandidat jadi banyak, karena ada 10 pangeran termasuk Hadiwinoto yang merupakan putra HB IX," ujarnya.
Namun pandangan Bayu, Sultan HB X tidak menghendaki suksesi Keraton Yogyakarta ke samping. Sultan mengarah suksesi ke depan tetap ke bawah- perempuan.