Upaya Membuka Ruang Diskusi Toleransi di Kalimantan Barat
Reporter
Aseanty Pahlevi (Kontributor)
Editor
Syailendra Persada
Minggu, 20 September 2020 06:02 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Berawal dari keresahan karena tak ada ruang berdiskusi isu toleransi di Pontianak, Kalimantan Barat, Isa Oktaviani memutuskan membentuk Satu dalam Perbedaan (Sadap) Indonesia. “Komunitas anak muda ini sebagai wadah perjumpaan lintas agama untuk saling menghilangkan stigma,” kata Isa pertengahan September 2020.
Isa menuturkan keresahan akan minimnya ruang diskusi isu keberagaman ini bermula ketika ia mengunjungi Sinagog, rumah ibadah umat Yahudi, di Manado pada 2015. Perjumpaan dengan umat Yahudi ini membekas. Isa mengatakan rupanya selama ini persepsi mengenai Yahudi yang ia tahu salah kaprah.
Keputusan untuk membuat sebuah wadah semakin kuat ketika Isa mengikuti Youth Camp Yifos Indonesia 2017. “Orang-orang sering berprasangka lebih dulu. Padahal, menurut ajaran agama manapun, menduga hal-hal baik adalah yang dianjurkan,” kata Isa.
Keresahan Isa bukan tak beralasan. Konflik rasial di Kalimantan Barat sudah terjadi lama sekali. Guru Besar Sosiologi Universitas Tanjungpura Pontianak, Syarif Ibrahim Alqadrie, mencatat ada beberapa insiden kerusuhan rasial di Kalimantan Barat. Yaitu pada 1900-an, 1930-an, 1960-an dan 1990-an. Selain itu, pada 1967, tidak sedikit warga Tionghoa yang menjadi korban. Di 1997 dan 1999, warga Madura juga mengalaminya.
Ibrahim mengatakan konflik ini bisa saja berulang kembali. Oleh karena itu penting untuk membangun karakter multikultural, saling menghargai dan menghormati perbedaan. “Hindari fitnah dan permusuhan,” kata Direktur Indonesia Conflict and Peace Study Network (ICPSN) ini.
Di Kalimantan Barat, konflik etnik paling besar yang pernah terjadi adalah antara suku Dayak, Melayu dan Madura. Sapariah Saturi, jurnalis asal Madura yang lahir dan tumbuh di Pontianak ini adalah saksi hidup konflik tersebut. Ia kini aktif sebagai editor di Mongabay Indonesia.
Menurut Ari, begitu ia akrab disapa, sudah bukan rahasia lagi jika isu etnisitas di Kalimantan Barat menjadi bahasan yang seksi untuk kepentingan politik. Apalagi saat isunya berubah menjadi isu agama. “Stereotip yang dibangun terhadap suku-suku tertentu juga jadi pelabelan yang diwariskan. Masalah perorangan merembet jadi masalah komunitas,” kata perempuan 44 tahun ini.
<!--more-->
Bagi Ari, penyelesaian konflik harusnya tidak hanya formalitas di level pemimpin, tapi juga hingga akar rumput. Oleh karena itulah, komunitas anak muda seperti Sadap Indonesia seperti sebuah harapan.
“Kunci perdamaian di masa mendatang adalah pemuda. Kalau pikirannya cetek, pesan yang berantai dan sampai ke generasi berikutnya adalah hal-hal yang pernah diwariskan oleh generasi di atas kita. Apa enggak horor?” ujarnya.
Subro, salah satu pemuda Madura juga mengamini. Menurut dia, inisiasi perdamaian yang diusung anak-anak muda merupakan salah satu harapan lahirnya generasi yang menjunjung tinggi toleransi. “Sadap adalah harapan untuk lahirnya pemuda-pemuda yang mampu memitigasi konflik horizontal,” ujarnya.
Cendekiawan Dayak Kalimatan Barat, Kristianus Atok, mengatakan kegiatan Sadap Indonesia adalah sebuah harapan untuk lahirnya generasi-generasi muda yang menjunjung tinggi toleransi. Dia percaya kelak apa yang sedang diperjuangkan oleh Sadap Indonesia akan membesar asalkan konsisten.
“Sadap mempunyai modal yang kuat yaitu penggunaan bahasa yang sama dengan anak muda lainnya. Maka ini akan memudahkan pesannya sampai,” kata Atok.
Atok juga ikut mengambil bagian dalam diskusi-diskusi yang digelar apabila ada kesempatan. Sebab, ia mendukung aksi anak-anak muda agen perdamaian di Kalimantan Barat. “Ini bisa jadi mitigasi, merekatkan golongan sehingga tidak mudah tersulut informasi-informasi yang memecah belah,” katanya.
Saat menjadi Dewan Pendidikan Provinsi Kalimantan Barat akhir 2019, Atok mengajukan pendidikan multikultural kembali masuk sebagai muatan lokal di kurikulum pendidikan. Ini adalah niatan yang tersambung dari apa yang ia upayakan sejak awal 2000-an silam. “Saya bersama teman-teman menyusun buku pegangan untuk pendidikan multikultural. Sayangnya, belum banyak digunakan,” katanya.
Bagi Atok, penting memasukkan pendidikan multikultural dalam kurikulum sekolah. Sehingga ada pijakan dasar untuk mengukur sejauh mana anak muda mampu mengubah pandangannya menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
<!--more-->
Sementara itu, juru bicara Baha’i di Kalimantan Barat, Hanggiri Shandy, mengatakan pada dasarnya semua agama mengajarkan cinta kasih sesama manusia. Tak banyak yang tahu ada agama Baha’i di Kalimantan Barat. Makanya, saat Sadap menggelar Temu Pemuda Lintas Iman (Tepelima), Shandy langsung menyambutnya.
Tepelima adalah kegiatan tahunan Sadap Indonesia di mana mereka mengundang anak-anak muda untuk berkumpul bersama selama tiga hari dan mengunjungi rumah-rumah ibadah.
Banyak peserta bertanya seputar bagaimana cara umat Baha’i beribadah juga tentang latar belakang ajarannya hingga sejarah kepercayaan ini. “Kami diskusi, bagaimana kami mengurus administrasi kependudukan. Bahkan bagaimana mengurus pernikahan,” ujar Shandy.
Bahai, kata Sandy, mempercayai seluruh kitab suci yang ada di muka bumi. “Makna toleransi, masih ada sekat pembeda. Namun, penerimaan tidak bersekat. Penerimaan adalah sikap tertinggi dalam berkehidupan, semua yang baik kita terima,” ujarnya.
Subandri Simbolon, peneliti dan dosen Sekolah Tinggi Agama Katolik Negeri Pontianak, mendapat kesan yang sama saat berinteraksi dengan peserta Tepelima. “Seorang peserta bersuku Madura, mengaku menerima banyak yang baru di kegiatan ini. Tak hanya mengubah persepsi, namun merasakan kekerabatan yang mendalam,” ujarnya.
Bandri mengatakan apabila ingin memiliki banyak pengalaman alangkah baiknya pergi bertemu banyak orang dari berbeda kalangan. Pun itu sejalan dengan konsep penerimaan yang diyakini Bandri. Mahasiswa-mahasiswanya yang berbeda agama saling membantu saat ingin beribadah.
“Kalau ibadah minggu, teman yang muslim yang antar-jemput. Kalau Sholat Jumat, temannya yang Katolik bergantian mengantar jemput. Motornya hanya ada satu,” kata dia.
Stereotip yang ada di masyarakat adalah hal turun temurun yang diwariskan dalam setiap keluarga, dalam setiap lingkungan dalam tiap generasi masyarakat. Makanya, Bandri melihat Sadap mampu membuka ruang diskusi tentang stigma di kalangan anak muda. “Mereka bisa merombak stereotype yang ada di masyarakat selama ini,” ujarnya.
Ia mengatakan, sekalipun Sadap Indonesia tidak menyasar banyak orang, namun apa yang mereka lakukan dapat menjadi bekal untuk menyebarkan pemahaman keberagaman yang ideal.
Selain Tepelima Kalbar yang menjadi acara akbar tahunan, Sadap Indonesia juga rutin menggelar diskusi-diskusi. Tidak hanya berkunjung ke rumah ibadah, berdiskusi dengan pemuka agama atau tentang keagamaan saja, tapi diskusi yang dilakukan sangat beragam.
Mulai dari bedah buku, cara menulis kreatif, peran pemuda membangun toleransi hingga mengenal komunitas lain di Pontianak atau Kalbar. Isunya memang beragam, tidak hanya tentang toleransi, tapi diskusi-diskusi ini diharapkan dapat menjadi ruang perjumpaan anak-anak muda di sana.
<!--more-->
Dulu saat sebelum pandemi, diskusi rutin dilakukan di sekretariat namun kini kegiatan mereka lebih banyak bergerak di platform digital. Konten postingan sosmed, live instagram dengan ragam narasumber hingga artikel-artikel keberagaman di website. Apa yang mereka lakukan, dengan lebih focus di internet, mereka juga kerap mendorong anak-anak muda di Pontianak, Kalbar dan seluruh Indonesia juga mulai menggunakan platform pribadi masing-masing.
“Semua orang punya peran, mulai dengan membuat cerita baik di sosial mediamu. Seperti cerita baik dengan tetangga beda agama atau suku. Setiap cerita baik yang diunggah akan memberikan kesan positif agar kita tetap saling dukung satu sama lain,” seperti dikutip dari postingan sosial media Sadap Indonesia.
Dengan mendorong partisipasi aktif menggunakan sosial media pribadi, Sadap Indonesia mendorong lebih banyak anak muda bercerita dan menyebarkan paham-paham toleransi dimulai dari diri sendiri. Hal ini selain lebih variatif tergantung masing-masing individu, juga lebih kekinian karena menjangkau lebih banyak perhatian anak muda.
Dewi Utami, dosen komunikasi Universitas Tanjungpura mengamini, disampaikannya bahwa kampanye digital merupakan hal yang efektif karena pada dasarnya otak manusia lebih cepat memproses informasi dalam bentuk visual. “Ketimbang teks, visual lebih mudah dicerna otak,” ujarnya.
Menyebarkan kampanye tentang isu sosial di platform digital memiliki tantangan sendiri, harus mencuri perhatian terlebih dahulu baru sampaikan pesannya kemudian. “Butuh energi banyak untuk menjaga ritme, konsisten dengan isu yang dibangun, serta terus menciptakan ide-ide baru,” katanya.
Kampanye nilai-nilai keberagaman melalui platform digital juga kerap dilakukan oleh komunitas jemaat Ahmadiyah. Juru Bicara Ahmadiyah Kalimantan Barat Roestandy mengatakan mereka melakukan kampanye seputar kegiatan-kegiatan sosial yang dilakukan.
Komunitas Jemaah Ahmadiyah Kalbar juga menjadi tujuan kunjungan Sadap Indonesia dan Tepelima. Ini adalah sesuatu yang menggembirakan baginya. “Banyak yang hanya mendengar dari internet atau rumor soal Ahmadiyah. Saya bahkan membuka lebar pintu masjid kami. Mari kita tepis prasangka,” katanya.
Ima, salah seorang Jemaah Ahmadiyah, yang turut menjadi panitia Tepelima turut membenarkan. Ia merasakan dan menjalin pertemanan dengan non-Ahmadi melalui kegiatan ini. “Seru sekali, harusnya lebih sering seperti ini,” harapnya.
Apa yang dirasakan oleh Ari, Subro, Sandi, Bandri, Roestandy dan Ima adalah cita-cita yang sejak awal ingin diraih oleh Isa dan teman-temannya. Kini, sambil memasuki usia yang masih muda sekali, tiga tahun Sadap Indonesia terus aktif memberikan ruang berdiskusi untuk seluruh anak muda lintas iman di Kalbar khususnya di Pontianak.
Isa sendiri baru memiliki teman akrab berbeda iman setelah berkesempatan keluar dari kampung halamannya. Berada di luar wilayah yang selama ini diakrabinya, memberinya kesempatan untuk mengenal kelompok agama lain. Tentu saja berkesempatan membangun relasi yang dekat.
“Rasa yang tebal ini tak akan terkikis dengan informasi-informasi menyesatkan mana pun. Semua bakal merasa, damai itu tidak ada harganya. Damai itu lebih penting dari kepentingan individu atau golongan,” katanya.