KPA hingga Lokataru Tolak Hadiri Undangan KSP Bahas Omnibus Law
Reporter
Budiarti Utami Putri
Editor
Endri Kurniawati
Rabu, 4 Maret 2020 08:12 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah organisasi kelompok masyarakat sipil menolak menghadiri undangan Kantor Staf Presiden (KSP) untuk membahas omnibus law Rancangan Undang-undang Cipta Kerja. Undangan itu sebelumnya dilayangkan oleh Pelaksana tugas Deputi V Kantor Staf Presiden Jaleswari Pramodhawardani.
Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika mengatakan RUU Cipta Kerja melenceng dari janji pemerintah menjalankan reforma agraria. Dewi juga menegaskan sikap KPA menolak seluruhnya omnibus law gagasan Presiden Joko Widodo (Jokowi) ini. "Kami mengapresiasi inisiatif ini namun KPA tidak akan hadir dalam undangan rapat yang dimaksud," kata Dewi, sebagaimana surat jawaban KPA kepada KSP tanggal 2 Maret 2020.
Lembaga-lembaga lainnya yang menolak hadir adalah Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Indonesian Centre for Environmental Law (ICEL), Indonesian Corruption Watch (ICW), hingga Lokataru.
Dalam salinan undangan dari KSP tanggal 26 Februari 2020, pertemuan diagendakan untuk penyerahan pandangan tertulis terkait dengan materi yang diatur dalam RUU Cipta Kerja. Pertemuan itu digelar di Hotel Ashley, Menteng, Jakarta Pusat.
Ketua YLBHI Asfinawati mempertanyakan sikap pemerintah yang baru mengundang kelompok masyarakat sipil. Padahal draf RUU Cipta Kerja sudah diserahkan ke Dewan Perwakilan Rakyat pada 12 Februari lalu.
"Kalau niat undangannya benar-benar mau meminta aspirasi kenapa tidak mengundang sebelum draf diserahkan ke DPR? Juga menyembunyikan draf sebelum dikirim ke DPR?" kata Asfinawati melalui pesan teks.
Direktur Eksekutif Walhi Nur Hidayati menyebut omnibus law Cipta Kerja menggambarkan komitmen buruk Presiden Jokowi terhadap perlindungan lingkungan hidup. Selain itu, Walhi memandang pemerintah akan melanggengkan krisis lingkungan semata-mata demi investasi.
"Penolakan ini didasari pada kajian kami bahwa semangat pembuatan kebijakan ini ditujukan untuk melindungi investasi dengan membabat regulasi-regulasi yang dianggap menghambat," kata Yaya, sapaan Hidayati melalui surat terbukanya pada Selasa, 3 Maret 2020.
Sekretaris Jenderal AMAN Rukka Sombolinggi mengatakan pemujaan berlebihan terhadap investasi skala besar selama ini terbukti sangat merugikan masyarakat adat. Dengan itu, kata dia, wilayah-wilayah adat dirampas dan diberikan izin investasi sektor kehutanan, perkebunan, pertambangan, dan lainnya.
"Posisi AMAN sudah jelas tegas #TolakOmnibusCILAKA," kata Rukka kepada Tempo, mengutip ulang jawabannya atas undangan KSP.
Koordinator KontraS Yati Andriyani mengkhawatirkan pertemuan itu menjadi ruang justifikasi pelibatan masyarakat sipil dalam pembahasan omnibus law. Padahal sebelumnya pemerintah bersikap tertutup selama proses penyusunan. "Kami mendesak DPR dan pemerintah untuk berhenti membahas RUU Cipta Kerja berdasarkan alasan-alasan yang sudah dijabarkan sebelumnya," kata Yati.
Adapun Direktur Eksekutif Lokataru Haris Azhar mengatakan, RUU Cipta Kerja wajib ditolak karena cara penyusunannya sudah cacat dan melanggar berbagai prinsip rule of law serta HAM. RUU ini, kata dia, berisi gabungan RUU yang ditolak masyarakat melalui demonstrasi Septembr 2019.
Haris mengingatkan lima orang pemuda (mahasiswa dan siswa) bahkan tewas dan ribuan lainnya menjadi korban kekerasan aparat polisi, tetapi hingga kini belum ada penegakan hukum. Haris mengatakan, pemerintah dan DPR semestinya berhenti membahas RUU Cipta Kerja itu. "Kami menolak jika surat ini dijadikan legitimasi pemerintah sebagai bentuk partisipasi masyarakat," kata Haris Azhar dalam suratnya yang menolak hadir.
Koordinator ICW Adnan Topan Husodo juga menyebut lembaganya menolak dijadikan legitimasi bahwa ada proses diskusi dengan masyarakat sipil, tetapi poin bermasalah nantinya tetap dipaksakan menjadi aturan. Adnan pun mengungkit sikap pemerintah yang tetap melakukan revisi Undang-undang KPK meskipun sudah berkali-kali mendapatkan masukan dari masyarakat sipil dan para tokoh. "Pengalaman kami dengan revisi UU KPK sudah cukup memberi pelajaran berharga," kata dia.