Anggota DPR Sebut Sanksi Pidana di RKUHP Disusun Pakai Perasaan

Jumat, 20 September 2019 06:53 WIB

Nasir Djamil. TEMPO/Imam Sukamto

TEMPO.CO, Jakarta - Anggota panitia kerja (Panja) Dewan Perwakilan Rakyat untuk Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau RKUHP, Nasir Djamil menjelaskan mekanisme penyusunan sanksi pidana dalam RKUHP. Nasir mengatakan ketentuan hukuman itu disusun dengan mengira-ngira berdasarkan perasaan.

"Itu pendapat saya. Sepertinya banyak pakai rasa. Kayaknya ini cocoknya begini, cocoknya segini, tapi kenapa segini ya enggak ada penjelasan," kata Nasir kepada wartawan, Kamis, 19 September 2019.

Hal ini disampaikan Nasir saat ditanya ihwal ketentuan hukuman pidana dalam RKUHP yang dianggap aneh dan diskriminatif oleh sejumlah pihak. Misalnya, pidana penjara bagi perempuan korban perkosaan yang melakukan aborsi lebih tinggi daripada pidana penjara bagi koruptor.

Dalam RKUHP, perempuan yang menggugurkan kandungan terancam pidana 4 tahun penjara. Sedangkan hukuman penjara mininum bagi koruptor hanya 2 tahun.

Nasir pun mengakui rasionalisasi pemidanaan dalam RKUHP belum sempurna. Panja, kata dia, masih mengadopsi ketentuan perundang-undangan lain, seperti KUHP versi lawas atau undang-undang lainnya.

Advertising
Advertising

Misalnya dalam pembahasan pasal asusila, panja akan merujuk pada UU tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga, UU Anak, dan sebagainya. Dia pun mengakui pasal asusila merupakan yang sulit dirumuskan hukuman pidananya.

Politikus Partai Keadilan Sejahtera ini mengaku dirinya termasuk salah satu yang mempertanyakan rasionalisasi pemidanaan ini saat pembahasan rumusan RKUHP di internal panja.

"Jadi artinya belum ada pertimbangan yang rasional. Saya termasuk orang yang mempertanyakan, ini pidana gimana kita rumuskan? Apa rasionalisasinya? Kadang-kadang mohon maaf juga, ya kadang-kadang suka-suka aja gitu. Contohnya nih segini, cocoknya segini, pakai rasa dia," ujarnya.

Menurut Nasir, hal semacam ini terjadi hampir di semua pemidanaan baik penjara maupun denda. Dalam RKUHP rumusan baru, ada delapan kategori denda di RKUHP. Besaran denda merentang dari Rp 1 juta hingga Rp 50 miliar.

"Misalnya nih, saya enggak ingat, misalnya ini dua tahun dong, Menkumham bilang enggak lah itu 1,68 tahun. Itu kan dua tahun dengan 1,68 tahun kan angka di tengah. Ya gitu-gitulah," ucapnya.

Nasir mengakui perhitungan sistem pemidanaan ini mesti diperbaiki ke depannya. Harus ada ketentuan jelas, misalnya apakah pemidanaan itu merujuk pada undang-undang lain.

"Sehingga orang enggak pertanyakan kenapa dua tahun? Kadang-kadang enggak ada jawab. Rata-rata kalau ikut pembahasan ya enggak ada penjelasan. Ya sudah dua tahun, dua tahun, ditimbang-timbang, dirasa-rasa kayaknya cocok nih dua tahun," kata Nasir.

Berita terkait

KPK Temukan Dokumen dan Bukti Elektronik soal Proyek Pengadaan Rumah Dinas saat Geledah Kantor Setjen DPR

8 jam lalu

KPK Temukan Dokumen dan Bukti Elektronik soal Proyek Pengadaan Rumah Dinas saat Geledah Kantor Setjen DPR

KPK menemukan beberapa dokumen yang berhubungan dengan proyek dugaan korupsi pengadaan perlengkapan rumah dinas DPR dalam penggeledahan.

Baca Selengkapnya

Said Iqbal Yakin Partai Buruh Masuk Senayan pada Pemilu 2029

1 hari lalu

Said Iqbal Yakin Partai Buruh Masuk Senayan pada Pemilu 2029

Presiden Partai Buruh Said Iqbal menyakini partainya masuk ke Senayan pada pemilu 2029 mendatang.

Baca Selengkapnya

KPK Geledah Gedung Setjen DPR, Simak 5 Poin tentang Kasus Ini

1 hari lalu

KPK Geledah Gedung Setjen DPR, Simak 5 Poin tentang Kasus Ini

KPK melanjutkan penyelidikan kasus dugaan korupsi pengadaan sarana kelengkapan rumah jabatan anggota DPR RI tahun anggaran 2020

Baca Selengkapnya

Reaksi DPR Soal Arab Saudi Izinkan Pemegang Semua Jenis Visa Lakukan Umrah

1 hari lalu

Reaksi DPR Soal Arab Saudi Izinkan Pemegang Semua Jenis Visa Lakukan Umrah

DPR menyatakan kebijakan Arab Saudi bertolak belakang dengan Undang-Undang tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah.

Baca Selengkapnya

Ditolak Partai Gelora untuk Gabung Kubu Prabowo, PKS Tak Masalah Jadi Koalisi atau Oposisi

2 hari lalu

Ditolak Partai Gelora untuk Gabung Kubu Prabowo, PKS Tak Masalah Jadi Koalisi atau Oposisi

Partai Gelora menyebut PKS selalu menyerang Prabowo-Gibran selama kampanye Pilpres 2024.

Baca Selengkapnya

Gerindra Klaim Suaranya di Papua Tengah Dirampok

3 hari lalu

Gerindra Klaim Suaranya di Papua Tengah Dirampok

Gerindra menggugat di MK, karena perolehan suaranya di DPR RI dapil Papua Tengah menghilang.

Baca Selengkapnya

Peneliti BRIN Bilang Oposisi Tetap Dibutuhkan di Pemerintahan Prabowo-Gibran, Ini Alasannya

3 hari lalu

Peneliti BRIN Bilang Oposisi Tetap Dibutuhkan di Pemerintahan Prabowo-Gibran, Ini Alasannya

PKS belum membuat keputusan resmi akan bergabung dengan pemerintahan Prabowo atau menjadi oposisi.

Baca Selengkapnya

BMTH Harus Beri Manfaat Besar Bagi Masyarakat Bali

6 hari lalu

BMTH Harus Beri Manfaat Besar Bagi Masyarakat Bali

Proyek Bali Maritime Tourism Hub (BMTH) yang sedang dibangun di Pelabuhan Benoa, Bali, harus memberi manfaat yang besar bagi masyarakat Bali.

Baca Selengkapnya

MK Gelar Sidang Perdana Sengketa Pileg pada Senin 29 April 2024, Ini Tahapannya

6 hari lalu

MK Gelar Sidang Perdana Sengketa Pileg pada Senin 29 April 2024, Ini Tahapannya

Bawaslu minta jajarannya menyiapkan alat bukti dan kematangan mental menghadapi sidang sengketa Pileg di MK.

Baca Selengkapnya

Prabowo dan Gibran Ikrar Sumpah Jabatan Presiden dan Wakil Presiden Oktober 2024, Pahami Isinya

6 hari lalu

Prabowo dan Gibran Ikrar Sumpah Jabatan Presiden dan Wakil Presiden Oktober 2024, Pahami Isinya

Pasca-putusan MK, pasangan Prabowo-Gibrang resmi ditetapkan KPU sebagai pemenang pemilu. Sumpah jabatan mereka akan diikrarkan pada Oktober 2024.

Baca Selengkapnya