Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly (kanan) menyerahkan Pandangan akhir Pemerintah terkait Revisi UU KPK kepada Wakil Ketua DPR selaku pimpinan sidang Fahri Hamzah (tengah), Ketua KPK Bambang Soesatyo (kedua kiri), Wakil Ketua DPR Fadli Zon (kedua kanan), dan Wakil Ketua DPR Utut Adianto (kiri) dalam Rapat Paripurna ke-9 Masa Persidangan I Tahun 2019-2020 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa, 17 September 2019. DPR RI mengesahkan Revisi UU nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menjadi Undang-Undang. TEMPO/M Taufan Rengganis
TEMPO.CO, Jakarta-Ketua Umum Ikatan Alumni Universitas Indonesia (ILUNI UI) Andre Rahadian menyayangkan proses pembahasan dan pengesahan RUU KPK menjadi UU KPK yang terkesan terburu-buru.
"Seharusnya, proses pembahasan dan pengesahannya mengedepankan keterbukaan, termasuk menerima masukan masyarakat," kata Andre melalui siaran pers, Selasa, 17 September 2019.
Proses yang cepat dibandingkan pembahasan RUU lain menurutnya mengkhawatirkan dan mengundang pertanyaan publik. Opini publik menunjukkan ada banyak RUU lain yang memiliki urgensi lebih untuk disahkan, seperti RUU Perlindungan Data dan Informasi Pribadi atau RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
"Tidak ada unsur urgensi yang membuat RUU ini harus dibahas secepat-cepatnya dalam proses yang sangat kilat," katanya.
Andre menuturkan pengesahan RUU KPK oleh DPR RI terburu-buru dan ceroboh. Apalagi mengingat alasan DPR yang mengebut pengesahan karena banyaknya antrian UU yang mesti diteken sebelum masa tugas berakhir.
"Sepatutnya, tugas pembahasan revisi RUU KPK ini dilakukan oleh DPR RI periode selanjutnya," ujarnya.
Untuk itu, Andre mengajak ILUNI UI dan elemen masyarakat sipil untuk tetap berkomitmen dan berjuang bersama-sama melawan usaha-usaha pelemahan KPK RI. "Sebagai bagian dari perjuangan mewujudkan Indonesia yang lebih baik yang bebas korupsi," ujarnya.