Sjamsul Nursalim bersama isterinya Itjih Nursalim di Singapura. Dok.TEMPO/Karaniya D Saputra
TEMPO.CO, Jakarta - Pengacara Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim, Maqdir Ismail, menganggap Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK telah mengingkari perjanjian buatan pemerintah ketika menetapkan kliennya menjadi tersangka korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Perjanjian yang dimaksud Maqdir adalah kebijakan Pembebasan dan Pelepasan atau Release and Discharge (R&D). “KPK harus menghormati seluruh perjanjian yang sudah dibuat," ucap Maqdir dalam keterangan tertulis pada Selasa, 11 Juni 2019.
Menurut dia, kebijakan R&D didasari oleh Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 yang diteken Presiden Megawati Soekarnoputri. Kebijakan itu memberikan pengampunan hukum terhadap para obligor BLBI yang dianggap kooperatif dengan menandatangani perjanjian Master Settlement and Acquisition Agreement (MSAA). Perjanjian MSAA adalah skema pelunasan hutang BLBI.
Berpijak pada surat itulah, dia melanjutkan, para konglomerat yang terjerat kasus penyelewengan dana BLBI mendapatkan surat perintah R&D dari Kejaksaan Agung. Maqdir mengatakan Sjamsul, selaku pemilik Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI), menjadi salah satu obligor penerima surat pengampunan tersebut setelah meneken MSAA pada 21 September 1998. Sjamsul memperoleh surat R&D pada 25 Mei 1999.
Maka Maqdir menilai KPK tak bisa begitu saja mengabaikan keberadaan surat R&D. “KPK telah mengingkari perjanjian yang dibuat oleh pemerintah dan warga negaranya.”
KPK mempunyai pendapat lain. KPK memiliki bukti bahwa Sjamsul dan Itjih telah merugikan negara Rp 4,58 triliun dalam penerbitan SKL BLBI. Sjamsul disebut tidak menampilkan harga sebenarnya (misrepresentasi) atas aset yang dia gunakan membayar utang BLBI sebagai petambak Dipasena.
Penetapan tersangka Sjamsul pengembangan dari vonis eks Kepala BPPN Syafruddin Arsyad Temenggung. Majelis Hakim menyatakan Syafruddin telah merugikan negara dan memperkaya Sjamsul sebesar Rp 4,58 triliun atas penerbitan SKL BLBI pada 2004.
Menurut Hakim, Syafruddin tetap menerbitkan SKL walaupun mengetahui bahwa Sjamsul belum menyelesaikan kewajibannya. Syafruddin juga telah menghilangkan hak tagih negara sehingga memperkaya Sjamsul.
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta telah memvonis Syafruddin 15 tahun penjara. Dalam putusannya, Syafruddin disebut korupsi bersama Sjamsul Nursalim, Itjih, dan mantan Kepala Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, yang juga Menteri Koordinator Perekonomian.