3 Kode Suap yang Disamarkan Seolah Tradisi di Masyarakat
Reporter
M Rosseno Aji
Editor
Syailendra Persada
Jumat, 31 Mei 2019 06:11 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Ada beberapa istilah suap yang pernah mencuat di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang disamarkan sebagai tradisi atau kebiasaan di masyarakat. Teranyar adalah Istilah bisyaroh yang mencuat dalam kasus jual-beli jabatan di Kementerian Agama.
Baca: Ini Makna Istilah Bisyaroh yang Dipakai Tersangka Suap Kemenag
Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Jawa Timur nonaktif, Haris Hasanudin berdalih memberikan uang kepada Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin sebagai bisyaroh bukan suap.
“Tidak pernah Pak Menteri atau Pak Rommy (Romahurmuziy) meminta sesuatu, yang ada bentuk tradisi lama, namanya bisyaroh, kalau di pesantren diberikan pada guru ngaji sebagai bentuk pesangon atau tanda terima kasih,” kata pengacara Haris, Samsul Huda Yudha, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Rabu, 29 Mei 2019.
Istilah bisyaroh biasa digunakan kalangan pesantren untuk menyebut gaji atau bayaran. Pemberian uang dengan dalih tradisi pernah juga terjadi dalam kasus korupsi lainnya yang diusut Komisi Pemberantasan Korupsi. Berikut adalah bisyaroh dan tradisi masyarakat Indonesia lainnya yang pernah muncul dalam kasus korupsi di KPK.
1. Bisyaroh
KPK mendakwa Haris memberikan suap dengan jumlah Rp 325 juta kepada Rommy dan Lukman agar terpilih menjadi kepala kantor agama Jawa Timur. Rommy disebut menerima Rp 255 juta, sementara Lukman Rp 70 juta.
Baca: Lukman Hakim Saifuddin Disebut Pasang Badan Demi Melantik Haris
Duit untuk Lukman diduga diberikan secara bertahap, yakni Rp 50 juta dan Rp 20 juta. Duit Rp 50 juta yang diberikan saat Lukman berada di Surabaya inilah yang kemudian dianggap Haris sebagai bisyaroh. Samsul Huda mengatakan uang itu diberikan sebagai bentuk penghormata atas kedatangan menteri. Sumbernya berasal dari urunan sejumlah kepala kantor agama.
Jaksa KPK Wawan Yunarwanto menganggap pemberian duit kepada menteri itu ilegal. Sebab, pemberian uang itu tidak terlepas dari status Lukman sebagai menteri. “Apalagi momennya ketika terdakwa sedang maju sebagai calon kepala kantor agama,” kata dia. Toh, menteri sudah memiliki dana operasional untuk membiayai perjalanan dinasnya.
<!--more-->
2. Uang kondangan
Suap dengan dalih uang kondangan muncul dalam kasus Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Edy Nasution, 2016 silam. Terdakwa penyuap Edy, Doddy Aryanto Supeno menyatakan bahwa duit Rp 50 juta yang diberikan kepada Edy merupakan duit kondangan untuk pernikahan anaknya, Andre Nasution. “Saya menitipkan uang Rp 50 juta sebagai kado pernikahan Andre Nasution,” kata pegawai PT Artha Pratama Anugrah itu di persidangan, September 2016.
Baca: Eddy Sindoro Menyerahkan Diri ke KPK, Begini Kronologi Kasusnya
Akan tetapi, dalam vonisnya majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta meyakini uang itu adalah bagian dari duit suap Rp 150 juta yang diberikan Doddy kepada Edy. Uang itu diberikan agar Edy menunda proses peringatan eksekusi terhadap PT Metropolitan Tirta Perdana dan menerima pendaftaran peninjauan kembali PT Across Asia Limited di pengadilan. Kedua perusahaan merupakan anak usaha Lippo Group. Hakim menghukum Doddy 4 tahun bui.
<!--more-->
3. Kado ulang tahun
Ditemani anaknya, pengusaha bernama Bernard Hanafi Kalalo menghabiskan duit Rp 463 juta di sebuah mall di Jakarta pada akhir April lalu. Dia berbelanja tas perempuan merek Channel, tas merek Balenciaga, sebuah jam tangan Rolex serta anting dan cincin berlian merek Adelle. KPK menduga Bernard akan memberikan seluruh barang mewah itu kepada Bupati Talaud Sri Maria Manalip sebagai kado ulang tahun.
Baca: Harta Bupati Talaud Melonjak 3 Kali Lipat
Namun, belum sempat menyerahkan kado itu, tim KPK keburu menangkap Bernard pada 29 April 2019. Tim KPK lainnya bergerak menangkap Sri di Talaud keesokan harinya. KPK menyangka Bernard akan memberikan barang itu sebagai suap untuk Sri agar mendapatkan proyek renovasi pasar di Talaud.
Sri menyangkal menerima barang mewah itu. Namun KPK mengklaim mengantongi bukti komunikasi antara Sri dan pelaku lainnya. Misalnya tentang merek tas. Wakil Ketua KPK Basari Panjaitan mengatakan Sri sempat menolak dibelikan tas Hermes, karena pejabat lainnya sudah memiliki tas itu duluan. “Bupati tidak mau tas diberikan sama,” kata dia dalam konferensi pers penetapan tersangka.