Wakil Presiden Jusuf Kalla yang juga Ketua Umum DMI memberikan sambutan saat penutupan Rakernas Dewan Masjid Indonesia di Jakarta, Ahad, 25 November 2018. Rakernas I DMI yang diikuti sekitar 250 orang pengurus pusat, daerah dan badan-badan otonom DMI. ANTARA/Hafidz Mubarak A
TEMPO.CO, Jakarta-Sekretaris Jenderal Dewan Masjid Indonesia Imam Addaruquthni menilai ajakan salat subuh akbar di hari H pencoblosan pemilu berpotensi menyimpang dari ajaran utama Islam. Hal ini dikhawatirkan justru dapat menjadi ajang kampanye terselubung yang dilakukan di dalam masjid.
"Ini hanya dikhawatirkan masjid dimanfaatkan pada saat momentum momentum tertentu saja, seperti misalnya kampanye," kata Imam saat dihubungi Tempo, Rabu, 13 Maret 2019.
Imam menuturkan salat subuh berjemaah merupakan anjuran bagi seluruh umat Islam. Sehingga tidak perlu menunggu momen tertentu untuk melaksanakan salat subuh berjemaah tersebut.
Imam melihat ajakan salat subuh akbar di hari pencoblosan justru bisa menjadi salah arah. "Salat berjamaah itu selalu dianjurkan. Tak hanya karena ada even pemilu, pencoblosan. Ajakan ini tidak syari," kata Imam.
Sebelumnya, Ketua DMI Jusuf Kalla juga telah memberikan imbauan keras agar masjid tak digunakan sebagai tempat kampanye politik praktis. Hal ini berlaku bagi seluruh masjid yang ada di Indonesia.
Menurut Imam imbauan Kalla hanya merupakan penegasan ulang menjelang Pemilihan Umum 2019 pada 17 April 2019. Sejak Pemilihan Gubernur 2017 lalu, imbauan ini telah dikemukakan oleh DMI.
"Misalnya sempat keluar aturan masjid tak boleh mengeluarkan maklumat apa pun jika ada pendukung Ahok untuk tidak disalatkan. Sekarang ya sama saja, semacam itu kami keluarkan lagi," kata Imam.
Ajakan salat subuh akbar berjamaan di hari pencoblosan pemilu muncul dari Pimpinan Nasional Komando Ulama Pemenangan Prabowo - Sandi (Koppasandi). Selain ajakan itu ada pula imbauan putihkan Tempat Pemungutan Suara (TPS), dengan maksud serempak menggunakan dress code berwarna putih.