Polda Jateng Hentikan Kasus Pelanggaran Kampanye Ketua PA 212
Reporter
Ahmad Rafiq (Kontributor)
Editor
Endri Kurniawati
Selasa, 26 Februari 2019 09:25 WIB
TEMPO.CO, Solo - Polisi menghentikan penanganan kasus pelanggaran kampanye yang dilakukan oleh pemimpin Persaudaraan Alumni 212 atau Ketua PA 212 Slamet Maarif. "Tiga alasan mendasari penghentian penanganan kasus ini," kata Kepala Bidang Humas Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Tengah Komisaris Besar Agus Triatmaja, Selasa 26 Februari 2019.
Alasan pertama, masih adanya perbedaan penafsiran mengenai kampanye dari sejumlah ahli yang didatangkan. Kedua, polisi belum bisa membuktikan niat atau mens rea dari tersangka dalam melakukan perbuatannya. "Mens rea belum bisa dibuktikan karena kami belum bisa memeriksa tersangka." Slamet Maarif dua kali tidak hadir dalam pemeriksaan.
Baca: Ketua PA 212 Tersangka: Kronologis Dugaan ...
Alasan ketiga penghentian perkara itu dilakukan berdasarkan pertimbangan dari posko Penegakan Hukum Terpadu atau Gakkumdu. Gakkumdu menyatakan penanganan kasus itu telah melewati tenggat waktu yang ditentukan. Polisi hanya memiliki waktu 14 hari untuk menyidik kasus itu dan melimpahkannya ke kejaksaan.
Kasus itu bermula dari pidato yang disampaikan Slamet pada acara tablig akbar di Solo, pertengahan Januari lalu. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kota Surakarta menyimpulkan adanya indikasi pidana pemilu dalam bentuk pelanggaran kampanye sehingga melimpahkan kasus itu ke kepolisian.
Baca: Sepak Terjang Slamet Maarif, Ketua PA 212
Semula, pemeriksaan Slamet Maarif sebagai tersangka akan dilakukan di posko Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) di Polresta Surakarta. Namun kemudian lokasi pemeriksaan dipindah ke Polda Jawa Tengah di Semarang dengan alasan keamanan.
Slamet disangka melanggar pasal 280 Undang Undang tentang Pemilu. Pasal itu mengatur tentang larangan kampanye di luar jadwal yang telah ditetapkan oleh penyelenggara pemilu. Atas pelanggaran itu, Ketua PA 212 Slamet Maarif diancam pidana penjara maksimal satu tahun dan denda maksimal Rp12 juta (pasal 492 UU Pemilu), atau penjara dua tahun dan denda paling banyak Rp24 juta (pasal 521 UU Pemilu).