Amien Rais dan Catatan Kritik Kontroversialnya Sejak Reformasi
Reporter
Tempo.co
Editor
Juli Hantoro
Rabu, 26 Desember 2018 16:04 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Amien Rais diminta mundur dari Partai Amanat Nasional atau PAN dan perpolitikan nasional oleh lima orang yang terlibat pendirian partai itu. Kelimanya adalah Abdillah Toha, kini penasihat Wakil Presiden; advokat senior Albert Hasibuan, sastrawan dan jurnalis senior Goenawan Mohamad, penyair dan tokoh budaya Toety Heraty, dan Zumrotin.
Baca juga: Kritik Amien Rais, Pendiri PAN Tak Mau Komentar Soal Pro Jokowi
"Barangkali sudah saatnya Saudara mengundurkan diri dari kiprah politik praktis sehari-hari, menyerahkan PAN sepenuhnya ke tangan generasi penerus, dan menempatkan diri Saudara sebagai penjaga moral dan keadaban bangsa serta memberikan arah jangka panjang bagi kesejahteraan dan kemajuan negeri kita," demikian tertulis dalam surat terbuka yang dirilis pada hari ini, Rabu, 26 Desember 2018.
Bagaimana kilas balik kiprah Amien Rais sejak era reformasi hingga saat ini?
4 Mei 1998 Amien Rais dengan 50 tokoh cendekiawan dan budayawan mendirikan Majelis Amanat Rakyat (Mara). Termasuk di dalamnya, lima orang yang kini menuntut Amien Rais mundur.
Saat itu, Amien Rais selaku juru bicara membacakan tuntutan agar Presiden Soeharto mundur dari jabatannya agar proses reformasi bisa berjalan.
21 Mei 1998 Presiden Soeharto mundur, digantikan wakilnya, B.J. Habibie. Tiga hari setelah itu, Amien Rais mendesak presiden baru agar menyatakan diri sebagai pemerintahan transisional dengan keharusan mempercepat pemilu yang bersih, jujur, dan adil. Sehari kemudian, Amien Rais menyatakan siap dicalonkan sebagai presiden keempat jika lewat pemilu yang jujur dan adil.
17 Agustus 1998 Amien Rais mendirikan Partai Amanat Nasional (PAN) dan menjadi ketua umum.
10 November 1998 Berlangsung pertemuan empat tokoh di Ciganjur: Abdurrahman Wahid, Amien Rais, Megawati Sukarnoputri, dan Sri Sultan Hamengku Buwono. Pertemuan itu menghasilkan Deklarasi Ciganjur, yang berisi delapan butir pokok pemikiran tentang reformasi.
18 Desember 1998 PAN secara resmi mengumumkan pencalonan Amien Rais sebagai calon presiden, sesuai dengan bunyi rekomendasi rapat kerja nasional yang pertama di Bandung.
25 Agustus 1999 Poros Tengah mencalonkan Gus Dur sebagai kandidat presiden. Amien Rais, yang sedang bermesraan dengan Gus Dur, mengatakan, "Saya akan tercatat dalam sejarah modern sebagai politisi penipu jika pencalonan Abdurrahman Wahid hanya taktik diri saya belaka untuk berbalik merebut kursi presiden," katanya di Yogyakarta.
27 September 1999 Amien Rais menggandeng Gus Dur untuk sowan kepada para ulama NU di Buntet, Cirebon, Jawa Barat.
3 Oktober 1999 Dalam Sidang Umum MPR, Amien Rais terpilih sebagai Ketua MPR.
20 Oktober 1999 Berkat dukungan yang kuat dari Poros Tengah yang dimotori Amien Rais, Abdurrahman Wahid terpilih sebagai presiden keempat.
13 Januari 2000 Berlangsung tablig akbar sejuta umat yang mendesak pemerintahan Abdurrahman Wahid agar memperhatikan masalah Ambon. Saat itu santer beredar rumor yang menyebutkan acara yang berlangsung di Monumen Nasional itu adalah untuk menggoyang Gus Dur. Amien Rais, salah satu peserta tablig, membantah rumor tersebut. Ia mengatakan, "Sayalah orang yang pertama akan mempertahankan Gus Dur sebagai presiden sampai 2004," tuturnya kala itu.
24 Januari 2000 Gus Dur memberhentikan dua menterinya: Jusuf Kala dan Laksamana Sukardi. Langkah ini dikecam keras oleh Amien Rais. Amien mengatakan, "Kalau anak buahnya tidak bisa bekerja sama, seharusnya yang dipertanyakan cara kerja konduktornya."
18 Mei 2000 Keretakan Amien dengan Gus Dur mengemuka. Amien Rais memberi sinyal kemungkinan membentuk koalisi baru antara Poros Tengah, PDI Perjuangan, dan Golkar dalam sidang tahunan Agustus 2000.
5 Februari 2001 Amien mengadakan pertemuan dengan pemimpin fraksi dan ketua partai besar, membahas kemungkinan percepatan sidang istimewa. Alasannya, situasi di daerah, khususnya Jawa Timur, semakin panas dan menjurus ke arah anarki.
21 Maret 2001 Dalam jumpa pers seusai mengadakan rapat dengan para pemimpin MPR. Amien Rais memastikan akan terselenggaranya Sidang Istimewa MPR jika Memorandum Kedua dijatuhkan oleh DPR. "Hampir bisa dipastikan, dalam satu bulan DPR berkirim surat ke MPR untuk menggelar sidang istimewa," kata Amien.
18 April 2001 PAN secara resmi mendukung Wakil Presiden Megawati menjadi presiden jika Presiden Abdurrahman Wahid diberhentikan oleh sidang istimewa.
21 Juni 2001 Menjelang Sidang Istimewa MPR, Amien terlihat semakin lengket dengan Ketua DPR Akbar Tandjung dan suami Megawati, Taufiq Kiemas. Mereka terlihat menghadiri acara Maulid Nabi di Masjid Kwitang, Senen, Jakarta Pusat.
20 Juli 2001 Amien Rais meminta semua anggota MPR berkumpul di Senayan untuk mengantisipasi pernyataan Presiden Abdurrahman Wahid, yang mengancam akan mengeluarkan dekrit.
23 Juli 2001 Amien berkomentar pada detik-detik terakhir kekuasaan Gus Dur, "Insya Allah, kita besok siang akan punya presiden baru," katanya kepada wartawan di Gedung Nusantara III MPR/DPR di Jakarta. Sidang istimewa berjalan. MPR mengangkat Megawati sebagai presiden kelima, menggantikan Abdurrahman Wahid.
Tahun 2002 Walaupun sudah berikrar mengamankan Megawati sampai 2004, bukan berarti Amien Rais berhenti mengkritik pemerintah. Ia menyebut periode ini sebagai pertaruhan terakhir demokrasi yang sedang ditimang-timang.
Kritik Amien itu terdokumentasi lewat tulisan kolomnya pada rubrik tabloid Adil dan Detikcom. Ketika pemerintahan Mega masih belum genap berusia lima bulan, ia terus menghujaninya dengan kritik pedas. Masalah yang sangat prinsipil, kata Amien, adalah tim ekonomi yang tak kompak, terutama dalam bersikap terhadap Dana Moneter Internasional (IMF).
Kecaman yang lebih keras atas kinerja Presiden Megawati disampaikan Amien Rais lewat harian terkemuka Jepang, The Yomiuri Shimbun, pada pertengahan Februari lalu. Amien mengatakan, "Mega belum melakukan apa-apa dan belum sukses membawa negeri ini ke masa depan yang lebih baik."
<!--more-->
2004
Pada Pemilu 2004, Amien Rais mencalonkan diri sebagai presiden bersama politikus Golkar Siswono Yudhohusodo sebagai calon wakil presiden. "Saya terpanggil untuk terus menjaga agar hak politik warga Negara Indonesia tetap terjamin. Keikutsertaan ini perwujudan rasa tanggung jawab itu," kata dia pada 12 April 2004.
Pasangan ini gagal dalam Pemilihan Presiden 2004. Mereka hanya meraih 14,66 persen suara dan gagal melaju ke babak kedua pilpres.
Setelah gagal dalam Pilpres yang dimenangkan Susilo Bambang Yudhoyono itu, Amien Rais seolah tenggelam. Tak ada catatan kritik kerasnya pada pemerintah SBY.
Pada Pemilu 2014 PAN mengusung Ketua Umumnya Hatta Radjasa sebagai calon wakil presiden mendampingi Prabowo. Namun pasangan ini kalah dari rivalnya, Joko Widodo atau Jokowi - Jusuf Kalla.
Baca juga: Sikap Muhammadiyah terhadap Ancaman Amien Rais Soal Pilpres
2016-2018
Nama Amien Rais kembali mencuat setelah ia muncul bersama massa aksi bela Al Quran pada 4 November 2016 yang menuntut Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dihukum karena diduga menista agama.
Sejak itu Amien Rais kerap mengeluarkan kritikan pedas untuk Jokowi yang pernah menjadi Gubernur DKI Jakarta dan wakilnya adalah Ahok.
Beberapa kritikan yang dilontarkan ke Jokowi antara lain soal pengaduan ulama ke ranah hukum. Salah satunya adalah Rizieq Shihab. Ia menilai Jokowi membiarkan usaha-usaha untuk melakukan kriminalisasi terhadap para ulama sebagai rujukan umat.
Kritikan lain adalah saat Amien Rais menyebut pembagian sertifikat oleh Presiden Jokowi adalah pengibulan. Hal ini menimbulkan reaksi keras dari Menko Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan. Bahkan Luhut mengancam akan membuka dosa Amien Rais.
Seperti tak gentar Amien Rais terus mengeluarkan kritik ke Jokowi. Saat Jokowi menyebut akan menggebuk kelompok yang anti konstitusi, anti-NKRI, ataupun yang memecah belah rakyat. Amien kemudian meminta Jokowi tak mengeluarkan lagi kata "gebuk". Ia mengingatkan Jokowi agar jangan pernah menganggap enteng kedaulatan rakyat.
Terakhir adalah saat Amien Rais mengatakan akan menjewer Ketua Umum PP Muhammadiyah jika tak bersikap dalam pemilihan presiden 2019. Ketua Umum Haedar Nashir saat itu mengatakan Muhammadiyah tak akan memasuki wilayah politik praktis selama pilpres 2019.
MAJALAH TEMPO