Eksklusif Puan Maharani: Revolusi Mental Bukan Perkara Instan
Reporter
Budiarti Utami Putri
Editor
Ninis Chairunnisa
Rabu, 28 November 2018 17:02 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Program dan jargon revolusi mental yang dicanangkan oleh pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla sudah berjalan empat tahun. Banyak pihak yang mempertanyakan sudah sejauh mana program tersebut terlaksana.
Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani sebagai leader dari pelaksanaan program ini pun menjawab pertanyaan-pertanyaan berkaitan dengan evaluasi revolusi mental. "Karena satu perubahan itu tentu saja enggak mungkin bisa dilakukan dengan cepat," kata dia.
Baca: Mau Jokowi, Revolusi Mental Itu dengan Contoh Bukan Teriak
Berikut hasil wawancara Tempo dengan Puan di kantornya pada Senin, 26 November 2018.
Bagaimana evaluasi revolusi mental selama empat tahun ini?
Kalau revolusi mental itu menurut saya suatu hal yang enggak bisa dilakukan secara instan. Dan ini pertama kali kan memang disampaikan Bung Karno, kemudian berusaha untuk diimplementasikan pada saat Pak Jokowi terpilih. Dan ini merupakan satu gerakan harus dilakukan secara bersama-sama oleh seluruh rakyat Indonesia. Paling tidak untuk bisa melakukan perubahan dari yang belum dilakukan menjadi gerakan yang dilakukan bersama.
Terkait dengan pelayanan publik, tertib, mandiri, bersih dan lain-lain, sampai saat ini kami melihat sudah ada sinergi antara pemda dan pemerintah pusat untuk melakukan itu. Dan yang paling menentukan sebenarnya bukan pemerintahannya, tapi rakyatnya.
Kalau sekarang itu sudah dilakukan 4 tahun, memang saya harus mengakui masih banyak hal yang harus kita benahi. Dan ini merupakan satu hal yang harus kita lakukan secara perlahan namun pasti. Untuk kemudian kita nanti bisa berkompetisi, bukan hanya di dalam tapi di luar negeri.
Jadi evaluasi tetap kami lakukan setiap tahun. Setiap kali sinergi dengan pemda juga kami lakukan. Dan kami sekarang mulai melakukan banyak sekali kegiatan yang langsung ke lapangan, dengan kerja nyata.
Salah satu yang kami lakukan adalah kerja sama dengan perguruan tinggi. Kami menciptakan KKN (Kuliah Kerja Nyata) tematik, di mana saat mahasiswa KKN, kami minta dia melakukan gerakan revolusi mental. Gerakan revolusi mentalnya seperti apa? Memang kami punya tim yang untuk mengimplementasikan atau menjelaskan substansi. Tapi kalau kami berharap gerakan revolusi mental itu dimulai dari hal-hal yang sederhana, seperti membuang sampah, antre, kemudian memberikan pelayanan. Jangan kita minta dilayani saja dan kalau ditanya apakah ini sudah terjadi. Salah satu contoh konkret yang bisa saya sampaikan adalah saat Asian Games.
Kalau kita datang ke Gelora Bung Karno, semua orang antre. Enggak ada yang rebutan. Saya saja sampai terharu karena di tempat bus semua antre. Mau masuk antre, keluar pun antre. Kemudian sampah, walaupun kita juga menugaskan petugas kebersihan, tapi enggak semua orang buang sampah di festivalnya. Jadi relatif bersih. bahkan saya bilang, untuk yang satu hari datang 100 ribuan itu, itu bersih. Itu bisa lihat sendiri lah.
Sebelum ada revolusi mental, apakah itu sesuatu yang susah (ditemui) di masyarakat?
Menurut saya iya. Karena saya juga merasakan hal tersebut. Mungkin juga ini pola kebiasaan atau kita masyarakat Indonesia mulai mempunyai kesadaran yang lebih tinggi. Tapi paling tidak kalau ditanya satu contoh gerakan revolusi mental seperti apa yang diharapkan, yaa itu yang kami harapkan dari pemerintah. Bahwa budaya antre, budaya melayani, budaya tertib, budaya bersih itu yaa secara bertahap terlihat lah. Kalau kita juga lihat antrean di stasiun (contohnya). Kita berubah tuh sekarang, dulu (naik) KA yang orang naik-naik ke atas sekarang udah enggak. Jadi memang infrastrukturnya kami siapkan, kemudian secara perlahan mentalnya mulai berubah.
Saat dicanangkan, banyak yang mengkritik mengapa selevel kementerian mengurusi orang antre dan buang sampah. Bagaimana tanggapan Ibu?
Kalau kemudian enggak ada yang memulai siapa yang akan memberi contoh? Gitu kan. Negara kita ini kan memang harus diatur oleh pemerintahnya dulu dong. Enggak bisa semua orang ngatur-ngatur sendiri. Kita harus punya satu aturan besar yang bisa mengatur semuanya untuk bisa menjadi contohnya. Dari hal kecil ini yang kami lakukan, tujuannya untuk menjadi hal yang besar.
Selanjutnya apa indikator perubahan revolusi mental?
<!--more-->
Apa indikator perubahan tersebut?
Pakai survei BPS (Badan Pusat Statistik), itu yang menjadi acuannya. Kemudian apa yang sudah kami lakukan yaa kalau di tempat saya sesuai tupoksinya ya. Kami melakukan intervensi-intervensi berkaitan dengan kesejahteraan sosial. Bansos itu kemudian kami arahkan by name by address di bidang pendidikan dan kesehatan. Kemudian (untuk) orang miskin seperti ada program keluarga harapan untuk ibu-ibu. Menapa ibu-ibu? Karena kami anggap ibu-ibu ini yang punya tanggung jawab untuk mendidik anaknya. Kan secara ketimuran memang seperti itu. Bapak kepala keluarga, ibu yang mengurus anak atau rumah. Itu uang PKH-nya kita berikan kepada ibu untuk dipergunakan memberi makanan tambahan gizi, mengatur kebutuhan anaknya kalau misalnya mereka ada kebutuhan sekolah. Tapi untuk kebutuhan sekolah kami juga kasih. Biasanya ibu penerima PKH, anak juga penerima KIP.
Tapi ada pihak yang menganggap keberhasilan ini hanya anggapan pemerintah saja. Bagaimana tanggapan Ibu?
Kami memang sekarang ini sedang bersama-sama dengan kementerian di bawah saya, ada 8 kementerian. Juga saya koordinasi dengan semua Menko yang ada untuk bisa me-link-an keberhasilan ini menjadi satu keberhasilan bersama. Dalam arti, kesejahteraan sosial ini enggak mungkin berhasil tanpa dukungan ekonomi, tanpa ada keamanan (lewat) Kemenkopolhukam dan enggak mungkin berhasil juga kalau kemudian kami enggak gabungkan dengan poros maritim yang menjadi cita-cita Pak Jokowi. Jadi memang semuanya ini enggak mungkin berjalan sendiri-sendiri. Ini harus bersama-sama sehingga orang bisa melihat ini (sebagai) keberhasilan memang ada gotong royong.
Ini yang diturunkan ke Inpres (instruksi presiden)?
Iya, revolusi mental, Inpres Nomor 12 Tahun 2016
Pemerintah juga akan mengeluarkan dana kelurahan selain dana desa. Bagaimana kajian kebijakan tersebut?
Rencananya tahun depan. Sekarang kan Kemenkeu sedang membuat skemanya. Bagaimana ini bisa dilakukan di kelurahan dan kecamatan. Kalau dana kelurahan ini kan wali kota-wali kota, kepala-kepala daerah itu menyampaikan kenapa kita enggak dikasih kesempatan untuk membangun kota. Itu salah satu pertimbangannya. Jadi bukan pemerataan, (tapi) kesamaan lah. Karena kalau kabupaten dibandingkan kota, kota kecil lah.
Pihak oposisi menilai revolusi mental yang digaungkan pemerintah belum maksimal, Mengapa?
Pertama baru dilakukan 4 tahun. Tadi saya sampaikan untuk mengubah satu kebiasaan seseorang saja enggak gampang. Makanya saya sampaikan ini enggak mungkin bisa berjalan instan. Jadi siapa pun yang nantinya akan menjadi pimpinan nasional --saya kan enggak berbicara sampai 2019 saja, 2024, sampai seterusnya-- kita kan enggak tahu pemimpin nasional kita nanti siapa. Ya kita berharap revolusi mental ini tetap harus dilakukan. Tetapi dengan bukti-bukti nyata di lapangan ini, saya merasa bahwa optimis gerakan revolusi mental ini sudah perlahan --memang sampai sekarang kita belum bisa melihat apa ini gerakan revolusi mental-- karena ini besar, luas, bahkan engga membuang sampah sembarangan saja itu sudah gerakan revolusi mental.
Kemudian rehabilitas sungai Citarum, itu revolusi mental. Dari yang kotor kayak gimana, kita mau perbaiki itu revolusi mental. Kemudian bagaimana kita membangun infrastruktur supaya enggak macet, itu revolusi mental. Jadi semua itu sebenarnya revolusi mental yang sudah dilakukan. Pelayanan publik sekarang pakai sistem Lapor. Semua kementerian diharapkan punya dashboard tentang apa saja yang sudah dilakukan, itu juga revolusi mental. Saya sih akan melihat bahwa kalau nanti pun tahun 2024 misalnya akan ada perubahan pemerintahan, atau apa pun namanya kalau dari tidak baik menjadi baik ya menurut saya itu revolusi mental.
Selanjutnya bagaimana tanggapan soal penembakan akibat beda pilihan capres?
<!--more-->
Kemarin di Madura ada yang ditembak karena beda capres, bagaimana tanggapan Ibu dikaitkan dengan revolusi mental?
Menurut saya ini beda antara revolusi mental sama situasi politik. Karena yang saya pahami politik itu seharusnya jangan sampai memecah belah kita. Ini kan cuma urusan demokrasi 5 tahunan, untuk memilih pimpinan 5 tahun ke depan. Kalau kemudian hanya karena beda pilihan terpecah belah, buat saya itu bukan politik yang sehat. Seharusnya pesta demokrasi ini bikin kita gembira dan aman. Menyampaikan pilihan kita berbeda bukan berarti kita jadi enggak bersaudara, bukan kita enggak orang Indonesia. Apakah kemudian kalau salah satu calon akan menang kita enggak akan tinggal di Indonesia? kan kita akan tinggal di Indonesia. Kalau kita enggak punya pilihan lain, masa mau pindah ke luar negeri gitu kan.
Jadi yang harus dipahami adalah pesta demokrasi ini adalah pesta demokrasi seluruh rakyat Indonesia untuk memilih pimpinan nasionalnya sesuai pilihannya tanpa kemudian memecah belah kita.
Kapan target pemerintah untuk program revolusi mental ini berhasil?
Setiap tahun kita punya target. Apakah pelayanan publik bisa berubah, apakah kemudian pelayanan ini bisa memengaruhi kebiasaan seseorang. Setiap targetnya berbeda-beda di setiap kementerian. Tapi target utamanya adalah perubahan dari yang kurang baik menjadi lebih baik atau baik sekali untuk masyarakat. Dan selama 5 tahun periode pemerintahan ini tentu aja target-target itu akan kami evaluasi. Kami lihat sejauh mana ini sudah berjalan. Namun saya optimis sekarang ini dari pemerintah pusat sampai daerah sudah berusaha melakukan gerakan revolusi mental.
Bagaimana koordinasi pemerintah pusat dengan kepala daerah yang beda (pilihan pilpres)?
Sampai saat ini setiap saya melakukan kegiatan kerja nyata revolusi mental, misalnya di Solo dan Manado, yang dateng kepala daerahnya warna warni. Enggak ada urusannya warnanya apa lalu enggak mau koordinasi. Enggak ada. Semuanya datang warna warni dan semuanya sepakat. Kepala daerah berkeinginan untuk bisa membuat rakyatnya sejahtera, memberikan satu perbaikan untuk rakyatnya.
Kedatangan mereka itu kan menunjukkan mereka enggak ada masalah. Kalau ada masalah pasti enggak mau dateng. Dan saya sebagai salah satu koordinatornya mereka datang ke saya, happy enjoy. Kita enggak bicara warna dan setiap saya lihat laporannya benar-benar melakukan hal tersebut dan ingin berkoordinasi. Saya undang ke kantor saya juga datang. Saya diundang ke daerahnya saya juga datang. Kan biasanya salah satu indikasi keberatan itu diundang enggak pernah hadir. Itu saja. Ini ramai, banyak gubernur yang beda warna juga datang.
Salah satu program revolusi mental adalah pembangunan gender. Angkanya positif. Masalahnya angka kekerasan seksual masih tinggi. Bagaimana menurut Ibu?
Pertama kami koordinasi dengan kementerian PPPA (Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak). Karena memang itu teknisnya di PPPA. Kemenko cuma koordinasikan lintas sektor. Kemudian kami libatkan KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia), organisasi perempuan. Jadi lintas sektor. (Dengan) Kementerian Agama, Kemensos, sama-sama cari solusinya. Yang pasti bagaimana caranya mengurangi itu. Yang penting harus dilakukan menurut saya salah satunya adalah pendidikan. Bahwa perempuan itu harus diberikan kesempatan mendapatkan pendidikan sama dengan laki-laki.
Baca: Menko Puan Evaluasi 4 Tahun Revolusi Mental: Enggak Bisa Instan