Darurat Kekerasan Seksual dan Pembahasan RUU PKS yang Lambat
Reporter
Friski Riana
Editor
Ninis Chairunnisa
Sabtu, 24 November 2018 13:03 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat setiap dua jam, ada 3 perempuan Indonesia yang mengalami kekerasan.
"Tahun 2012, kita sudah sampaikan ke publik dalam 10 tahun, 2001 hingga 2011 ternyata di Indonesia itu setiap hari 35 perempuan menjadi korban kekerasan seksual," kata Komisioner Komnas Perempuan, Azriana, di Kantor Komnas Perempuan, Jakarta, Jumat, 23 November 2018.
Baca: Komnas Sebut Banyak Kekerasan terhadap Perempuan Tak Tertangani
Menurut Azriana, data tersebut sempat digunakan untuk mendesak Dewan Perwakilan Rakyat agar mengusulkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual sebagai inisiatif DPR. Saat ini, RUU PKS masih mandek pembahasannya.
Padahal, kata Azriana, sejak 2014, Komnas Perempuan telah menyatakan Indonesia darurat kekerasan seksual. Lembaga itu mencatat pada 2014, ada 4.475 kasus kekerasan seksual yang menimpa perempuan dan anak perempuan. Angka tersebut meningkat pada 2015 menjadi 6.499 kasus dan di 2016 menjadi 5.785 kasus.
Desakan untuk mengesahkan RUU PKS juga sebenarnya datang dari kancah internasional. Rena Herdiyani, Wakil Ketua Bidang Program Kalyanamitra yang menjadi anggota jaringan CEDAW Working Group Indonesia, mengatakan bahwa Indonesia mendapatkan rekomendasi dari Komite Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) Perserikatan Bangsa-bangsa untuk membuat peraturan perundang-undangan yang menghapus kekerasan berbasis gender.
"Kekerasan berbasis gender salah satunya adalah kekerasan seksual, jadi pemerintah Indonesia wajib melaksanakan rekomendasi CEDAW tersebut," kata Rena.
Baca: Baleg DPR Setujui Draf RUU Penghapusan Kekerasan Seksual
Menurut Rena, dalam rancangan UU PKS versi pemerintah justru belum mengangkat tentang perlindungan untuk korban dan tidak mengatur secara komprehensif bentuk-bentuk kekerasan seksual. "Sebenarnya belum sesuai prinsip CEDAW dan belum jelas kewajiban negaranya untuk memberikan perlindungan itu apa," kata dia.
Sementara itu, Koordinator Jaringan Kerja Prolegnas Pro Perempuan (JKP3) Ratna Bantara Munti mengatakan Indonesia jelas membutuhkan regulasi khusus untuk pencegahan dan penanggulangan kekerasan seksual. Sebab, peraturan yang ada, seperti Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau KUHP masih lemah secara implementasi dan substansi. Sehingga, aturan itu tidak menyasar pada akar permasalahan kasus kekerasan seksual dan minim perlindungan pada korban.
Dalam KUHP, misalnya, hanya mengatur perkosaan dan pencabulan. Ratna menuturkan, definisi dari istilah tersebut dalam KUHP masih sebatas kontak fisik. "Konteksnya harus dibuktikan dengan adanya sperma, masuknya penetrasi penis ke kemaluan perempuan," kata dia.
Padahal, kata Ratna, kekerasan seksual tidak hanya sebatas fisik. Pada RUU PKS yang belum disahkan, memuat sembilan bentuk kekerasan seksual, di antaranya pelecehan seksual, pemaksaan aborsi, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan pelacuran, pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual dan perbudakan seksual.
Ketua Indonesia Feminist Lawyer Club Nur Setia Alam Prawiranegara mengatakan banyak hak-hak korban kekerasan seksual yang ditanganinya tidak terwakili dalam undang-undang. Misalnya hak untuk aborsi bagi perempuan korban perkosaan. "Kalau aborsi dia sadar melakukan hubungan seksual kemudian bunuh anak itu pidana. Tapi kalau orang ini diperkosa, dia tidak menghendaki, dia punya hak si perempuan ini untuk aborsi," kata Alam.
Di sisi lain, para aktivis perempuan melihat semangat pemerintah memberantas kekerasan seksual belum sesuai harapan. Berdasarkan rumusan daftar inventarisasi masalah yang disusun Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, beberapa bentuk kekerasan seksual malah dihapus. Kementerian itu masih menggunakan konsep lama terkait pencabulan dan perkosaan.
Selain harus memuat 9 bentuk kekerasan seksual, Ratna berharap RUU PKS memperhatikan hak-hak korban dari hulu ke hilir. Misalnya, pendampingan hukum, psikologis, medis, psikososial sampai pemulihan.
Sehingga, aspek-aspek tersebut nantinya akan mendorong terbentuknya penanganan yang terintegrasi atau one stop care centre. Di negara maju, kata Ratna, semua layanan crisis centre sudah satu atap. "Di gedung itu bagaimana korban cepat ditangani medis dan psikologis, di tempat itu juga ketika diambil keterangan psikolog keluar informasi terkait kasusnya pelakunya, jadi aparat hukum tidak usah nanya ulang," ujarnya.
Baca: 4 Tahun Jokowi, Kekerasan Terhadap Perempuan Masih Marak Terjadi
Terakhir adalah soal kewajiban negara untuk memastikan restitusi atau ganti rugi untuk korban. Menurut Ratna, ada banyak kasus kekerasan seksual di mana pelaku tidak sanggup ganti rugi. Seharusnya, negara juga bisa memastikan korban mendapat hak-haknya, tidak hanya resitusi tapi juga kompensasi.
Sayangnya, pembahasan RUU PKS di Komisi VIII DPR berjalan lamban sejak ditetapkan menjadi RUU inisiatif DPR pada Februari 2017. Sudah hampir dua tahun berjalan, panitia kerja RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Komisi VIII DPR masih berkutat menggelar rapat dengar pendapat umum (RDPU). Itu pun, kata Ratna, baru berlangsung lima kali, dan belum beranjak membahas bersama pemerintah.
Menurut Ratna, pembahasan RUU PKS harus segera diselesaikan sebelum masa jabatan anggota DPR periode sekarang berakhir. Sebab, jika tidak dibahas tahun ini, Ratna meyakini RUU PKS akan gagal disahkan dan harus memulai kembali dari nol oleh anggota Dewan di periode selanjutnya.
"Sistem pembahasan Prolegnas tidak mengenal keberlanjutan dari periode yang lalu. Artinya upaya yang dilakukan selama ini, sejak 2015 diusulkan masyarakat sipil hingga berhasil masuk Prolegnas menjadi sia-sia," kata Ratna.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohana Yembise mengatakan RUU PKS masih dalam agenda pembahasan. Kementeriannya tetap mendesak DPR untuk melanjutkan RUU. "Saya atas nama pemerintah sudah sampaikan tanggapan presiden, tapi belum direspon balik oleh DPR," kata Yohana kepada Tempo, Kamis, 22 November 2018.
Menurut Yohana, RUU PKS menjadi penting karena menyangkut harkat dan martabat perempuan, juga laki-laki. Dengan situasi pelecehan dan eksploitasi terhadap perempuan, Yohana mengatakan bahwa pembahasan RUU PKS menjadi prioritas.
Terkait keluhan para aktivis mengenai DIM pemerintah, Yohana mengatakan masih membuka peluang untuk berdiskusi dan menerima masukan. "Saya akan undang aktivis untuk membahas khsuus. Banyak pasal-pasal yang dilihat pemerintah sudah masuk dalam regulasi lain. Tapi yang jelas, menurut saya, kita harus lihat kembali," kata dia.
Ketua Komisi VIII DPR, Ali Taher mengatakan RUU PKS masih dalam pembahasan di panitia kerja. Panja baru akan mengundang tokoh masyarakat, baik pro maupun kontra, serta perwakilan dari kalangan akademik. "Untuk mendiskusikan substansinya lebih mendalam, sehingga UU ini bisa lahir mewakili seluruh kepentingan stakeholder," kata Ali.
Menurut Ali, masih ada beberapa poin yang masih harus dikaji. Pihaknya ingin memastikan RUU PKS tidak akan menimbulkan persoalan sosial di kemudian hari.
FIKRI AGRI
Baca: Komnas Perempuan: Ratusan Perda Masih Diskriminatif terhadap Perempuan