Rizal Ramli dan Kwik Kian Gie Bakal Bersaksi di Sidang BLBI

Reporter

M Rosseno Aji

Editor

Amirullah

Selasa, 3 Juli 2018 14:47 WIB

Mantan Menko Perekonomian Rizal Ramli berdiri di ruang tunggu Gedung KPK, Jakarta, 2 Mei 2017. ANTARA FOTO

TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bakal menghadirkan dua mantan Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri yakni Rizal Ramli dan Kwik Kian Gie untuk bersaksi dalam sidang perkara Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). KPK menyatakan kesaksian mereka penting untuk pembuktian.

"Untuk semakin memperkuat proses pembuktian, sidang selanjutnya, Kamis, 5 Juli 2018, akan dihadirkan Kwik Kian Gie dan Rizal Ramli," kata juru bicara KPK, Febri Diansyah dalam keterangan tertulis, Selasa, 3 Juli 2018.

Baca: Kasus BLBI, Syafruddin Arsyad Temenggung Pertanyakan Peran BI

Selain kedua nama itu, Febri mengatakan KPK juga akan menghadirkan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) 2000-2001 Edwin Gerungan dan Ketua BPPN 2001-2002, I Putu Gede Ary Suta.

Keempat nama tersebut sebelumnya telah dipanggil KPK selama proses penyidikan kasus ini. Mereka diperiksa sebagai saksi untuk tersangka eks Kepala BPPN Syafruddin Arsyad Temenggung.

Advertising
Advertising

Jaksa KPK mendakwa Syafruddin telah merugikan negara sekitar Rp 4,58 triliun dalam penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) BLBI untuk pemegang saham pengendali Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim. Jaksa juga mendakwa Syafruddin memperkaya Sjamsul lewat penerbitan SKL tersebut.

Bank Indonesia memasukkan BDNI ke dalam program penyehatan bank di bawah pengawasan BPPN pada Februari 1998. Enam bulan kemudian, BDNI ditetapkan sebagai Bank Beku Operasi (BBO) yang pengelolaannya dilakukan oleh tim pemberesan yang ditunjuk BPPN, didampingi Group Head Bank Restrukturisasi. Dengan status BBO, BDNI mendapatkan BLBI Rp 37 triliun pada 29 Januari 1999.

Baca: Jaksa: Kasus BLBI Syafruddin Arsyad Temenggung itu Pidana Korupsi

BPPN kemudian mendapati BDNI melakukan pelanggaran atas penggunaan BLBI. BDNI diwajibkan mengikuti Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) dengan pola perjanjian Master Settlement Aqcuisition Agreement (MSAA).

BPPN melalui Tim Aset Manajemen Investasi (AMI) dibantu sejumlah penasihat finansial membuat neraca penutupan BDNI dan menghitung jumlah kewajiban yang harus dibayar sekitar Rp 47 triliun. Dari total itu, Jumlah Kewajiban Pemegang Saham (JKPS) yang harus dibayarkan Sjamsul sebesar Rp 28,4 triliun. Sebanyak Rp 18,8 triliun sisanya dibayar memakai aset BDNI.

Dari jumlah tersebut, sebanyak Rp 4,8 triliun aset BDNI yang disita berupa piutang petambak plasma kepada PT Dipasena Citra Dermadja (DCD) dan PT Wachyuni Mandira (WM). Berdasarkan audit Financial Due Dilligence (FDD) oleh Kantor Akuntan Publik Prasetio Utomo & Co piutang tersebut masuk kategori kredit macet. Sjamsul dianggap melakukan misinterpretasi atas nilai hutang petambak tersebut. BPPN memintanya menambah jumlah aset yang disita untuk menutupi kekurangan, namun dia menolak.

Baca: Kasus BLBI, Hakim Tolak Eksepsi Syafruddin Arsyad Temenggung

Pada 22 April 2002 Syafrudin diangkat sebagai Kepala BPPN. Dalam rapat 21 Oktober 2003, antara BPPN dan Itjih S. Sjamsul, Syafruddin selaku pimpinan rapat menyimpulkan Sjamsul tidak melakukan misinterpretasi karena memunculkan hutang petambak seolah hutang lancar. Atas keputusan Syafrudin, BPPN kemudian melakukan restrukturisasi hutang petambak menjadi Rp 3,9 triliun, dengan Rp 2,8 triliun dianggap kredit macet dan sisanya Rp 1,1 triliun sebagai hutang yang bisa ditagih.

Dalam sidang kabinet terbatas pada 11 Februari 2004 dengan Presiden Megawati Soekarnoputri, Syafruddin mengusulkan kemungkinan penghapusbukuan terhadap hutang Rp 2,8 triliun kredit macet tersebut. Rapat tidak mencapai kesimpulan, namun Syafrudin didakwa membuat seolah-olah rapat menyetujui usulan tersebut.

Pada 17 Maret 2004, BPPN dan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KKSK) menggelar rapat membahas Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS). Namun, Syafrudin tidak memberikan laporan rinci mengenai penyelesaian permasalahan PT DCD, khususnya mengenai misinterpretasi yang dilakukan Sjamsul. Syafruddin juga tidak melaporkan adanya kewajiban yang seharusnya ditanggung Sjamsul atas misinterpretasi itu.

Baca: Pengacara Sebut Pengadilan Tipikor Tak Berwenang Adili Kasus BLBI

KKSK akhirnya mengeluarkan keputusan yang isinya antara lain menyetujui pemberian bukti penyelesaian kewajiban kepada Sjamsul. Pada 12 April 2004, Syafrudin dan Itjih S. Nursalim menandatangani Akta Perjanjian Penyelesaian Akhir yang menyatakan pemegang saham telah melaksanakan dan menyelesaikan kewajibannya sebagaimana diatur dalam MSAA.

Adapun hak tagih hutang petambak sebanyak Rp 1,1 triliun kemudian terjual kepada Konsorsium Neptune dari Group Charoen Pokphand sebesar Rp 220 miliar. Dengan memperhitungkan hasil penjualan itulah, jaksa mendakwa Syafrudin telah merugikan negara sebanyak Rp 4,58 triliun atas penerbitan SKL kepada BDNI milik Sjamsul Nursalim.

Berita terkait

Nurul Ghufron Permasalahkan Masa Daluwarsa Kasusnya, Eks Penyidik KPK: Akal-akalan

20 jam lalu

Nurul Ghufron Permasalahkan Masa Daluwarsa Kasusnya, Eks Penyidik KPK: Akal-akalan

Eks penyidik KPK, Yudi Purnomo Harahap, menilai Nurul Ghufron seharusnya berani hadir di sidang etik Dewas KPK jika merasa tak bersalah

Baca Selengkapnya

Dugaan Ekspor Nikel Ilegal sebanyak 5,3 Juta Ton ke Cina, KPK: Masih Cari Alat Bukti

22 jam lalu

Dugaan Ekspor Nikel Ilegal sebanyak 5,3 Juta Ton ke Cina, KPK: Masih Cari Alat Bukti

Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata mengaku tidak mengetahui ihwal penyidik meminta Bea Cukai untuk paparan dugaan ekspor nikel ilegal ke Cina.

Baca Selengkapnya

Alexander Marwata Benarkan Pernyataan Nurul Ghufron Soal Diskusi Mutasi ASN di Kementan

1 hari lalu

Alexander Marwata Benarkan Pernyataan Nurul Ghufron Soal Diskusi Mutasi ASN di Kementan

Alexander Marwata mengaku membantu Nurul Ghufron untuk mencarikan nomor telepon pejabat Kementan.

Baca Selengkapnya

IM57+ Nilai Nurul Ghufron Panik

1 hari lalu

IM57+ Nilai Nurul Ghufron Panik

Nurul Ghufron dinilai panik karena mempermasalahkan prosedur penanganan perkara dugaan pelanggaran etiknya dan menyeret Alexander Marwata.

Baca Selengkapnya

KPK Bilang Kasus SYL Berpotensi Meluas ke TPPU, Apa Alasannya?

1 hari lalu

KPK Bilang Kasus SYL Berpotensi Meluas ke TPPU, Apa Alasannya?

Menurut KPK, keluarga SYL dapat dijerat dengan hukuman TPPU pasif jika dengan sengaja turut menikmati uang hasil kejahatan.

Baca Selengkapnya

Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor Mangkir tanpa Alasan, KPK: Praperadilan Tak Hentikan Penyidikan

2 hari lalu

Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor Mangkir tanpa Alasan, KPK: Praperadilan Tak Hentikan Penyidikan

KPK mengatakan, kuasa hukum Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor seharusnya berperan mendukung kelancaran proses hukum.

Baca Selengkapnya

Nurul Ghufron Sebut Nama Pimpinan KPK Lainnya Dalam Kasus Mutasi Pegawai Kementan

2 hari lalu

Nurul Ghufron Sebut Nama Pimpinan KPK Lainnya Dalam Kasus Mutasi Pegawai Kementan

Nurul Ghufron menyebut peran pimpinan KPK lainnya dalam kasus dugaan pelanggaran kode etik yang menjerat dirinya.

Baca Selengkapnya

Usai Tak Hadiri Sidang Etik Dewas KPK, Nurul Ghufron Bilang Gugatan ke PTUN Bentuk Pembelaan

2 hari lalu

Usai Tak Hadiri Sidang Etik Dewas KPK, Nurul Ghufron Bilang Gugatan ke PTUN Bentuk Pembelaan

Wakil KPK Nurul Ghufron menilai dirinya menggugat Dewas KPK ke PTUN Jakarta bukan bentuk perlawanan, melainkan pembelaan diri.

Baca Selengkapnya

Ini Alasan Nurul Ghufron Bantu Mutasi ASN Kementan ke Malang Jawa Timur

2 hari lalu

Ini Alasan Nurul Ghufron Bantu Mutasi ASN Kementan ke Malang Jawa Timur

Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron menjelaskan perihal laporan dugaan pelanggaran etik yang ditujukan kepadanya soal mutasi ASN di Kementan.

Baca Selengkapnya

Tak Hadir Sidang Etik Dewas KPK, Nurul Ghufron Bilang Sengaja Minta Penundaan

2 hari lalu

Tak Hadir Sidang Etik Dewas KPK, Nurul Ghufron Bilang Sengaja Minta Penundaan

Nurul Ghufron mengatakan tak hadir dalam sidang etik Dewas KPK karena sengaja meminta penundaan sidang.

Baca Selengkapnya