Jokowi dan Prabowo di Pilpres, Pengamat: Yang Menarik Wapresnya
Reporter
M Yusuf Manurung
Editor
Ninis Chairunnisa
Sabtu, 24 Februari 2018 07:15 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat politik dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Sebastian Salang menilai kemungkinan pasangan calon presiden dan wakil presiden pada pemilihan presiden 2019 akan menyisakan dua calon saja. Hal tersebut disampaikan menganggapi deklarasi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan mengusung Joko Widodo atau Jokowi sebagai calon presiden.
Menurut Jokowi, salah satu penyebabnya karena banyak partai yang tergabung dalam koalisi pemerintahan Presiden Jokowi yakni Golkar, Hanura, NasDem, PPP, PKB dan PAN serta beberapa di antaranya telah menyatakan dukungan. Dengan begitu, kata dia, kemungkinannya hanya ada satu calon selain Jokowi.
Baca: Lima Nama Cawapres Jokowi dan Prabowo yang Diinginkan Masyarakat
"Yang tertinggal itu PKS, Gerindra dan Demokrat, kalau itu yang terjadi pertarungan ya tinggal dua pasang lagi," kata Sebastian pada Jumat, 23 Februari 2018.
PDIP telah resmi mendeklarasikan Jokowi sebagai calon presiden di pilpres 2019. Hal tersebut disampaikan langsung oleh Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri pada Rakernas III PDIP di Grand Inna Beach Hotel, Bali pada 23 Februari 2018.
Baca: Begini Reaksi Jokowi ketika Ditanya soal Calon Wakil Presiden
Sementara itu, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad mengatakan partainya akan mendeklarasikan Prabowo Subianto sebagai calon presiden pada bulan depan.
Menurut Sebastian, jika Prabowo resmi menjadi calon presiden, maka yang menarik dibahas dalam pilpres 2019 adalah tentang wakil presiden bagi keduanya.
Untuk Jokowi, Sebastian menilai mantan wali kota Solo itu punya semacam hak prerogatif untuk memilih calon wakilnya. "Bisa orang partai, ormas terbesar di republik ini atau dari kekutan lain misalnya profesional atau TNI," ujarnya.
Sedangkan untuk Prabowo, Sebastian menilai bahwa kemungkinan pertama yang akan dipilih sebagai pendamping adalah pimpinan partai politik. Hal tersebut dilakukan demi mengamankan kekuatan kursi di DPR sebagai syarat presidential threshold. "Yang kedua baru kekuatan figur," kata dia.