Wakil Ketua KPK Laode Syarief dan Ketua KPK Agus Rahardjo usai menghadiri sidang uji materi uji materi penggunaan hak angket DPR terhadap KPK dalam Pasal 79 ayat 3 UU MD3 di Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat pada Kamis, 8 Februari 2018. TEMPO/Zara Amelia
TEMPO.CO, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak tiga permohonan uji materi penggunaan hak angket Dewan Perwakilan Rakyat terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam Pasal 79 ayat 3 Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3).
"Mengadili, menolak permohonan provisi para pemohon," ucap ketua majelis hakim Konstitusi, Arief Hidayat, di Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, Kamis, 8 Februari 2018.
Majelis hakim menimbang bahwa KPK termasuk lembaga eksekutif yang dibentuk berdasarkan undang-undang sebagai penunjang pemerintah. KPK, kata majelis hakim, melaksanakan tugas dan wewenangnya sebagai lembaga eksekutif.
Dengan demikian, KPK merupakan obyek yang sah untuk hak angket DPR.
"DPR sebagai wakil rakyat berhak meminta pertanggungjawaban pelaksanaan tugas dan kewenangan KPK, meski KPK juga bertanggung jawab kepada publik," kata Arief.
Dari sembilan hakim, hanya lima yang setuju memutuskan KPK sebagai obyek hak angket DPR yang sah. Empat di antaranya mengajukan pendapat berbeda atau dissenting opinion.
Permohonan uji materi tersebut sebelumnya diajukan oleh empat pemohon. Keempatnya adalah Forum Kajian Hukum dan Konstitusi, Direktur LIRA Institute Horas Naiborhu, sejumlah pegawai KPK, serta koalisi masyarakat sipil gabungan tim Advokasi Selamatkan KPK dari Angket DPR.
Menanggapi putusan MK soal hak angket DPR ke KPK tersebut, Wakil Ketua KPK Laode M. Syarief menghormatinya. “Ini kan putusan terakhir dan mengikat oleh karena itu KPK akan menghormati putusan tersebut,” katanya.
Pakar hukum UGM Zainal Arifin Mochtar menilai putusan MK yang akhirnya memenangkan pasangan nomor urut 02 Prabowo-Gibran telah menyisakan pekerjaan rumah cukup berat.