Keprihatinan Pendahulu Golkar: Organisasi Hanya Jadi Kendaraan
Reporter
Budiarti Utami Putri
Editor
Ninis Chairunnisa
Jumat, 24 November 2017 09:26 WIB
TEMPO.CO, Jakarta- Kondisi Partai Golkar yang tengah dirundung masalah membuat politikus senior Golkar Sarwono Kusumaatmadja prihatin. Ia menyayangkan keterlibatan Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto dalam kasus korupsi e-KTP.
Sarwono yang pernah jadi Sekretaris Jenderal Partai Golkar ini mengatakan hal tersebut terjadi karena perubahan kultur politik. Saat ini, orang menamakan organisasinya sebagai kendaraan.
Baca: Politikus Senior Golkar Ingin Partai Direvitalisasi
"Cuma kendaraan? Semua orang bisa naik turun, asal bayar? Orang enggak bisa lama duduk ngobrol betah tentang ide, gagasan, dan program," kata Sarwono di auditorium CSIS pada Kamis, 23 November 2017.
Kultur semacam ini, kata Sarwono, berpotensi menimbulkan politik yang mengandalkan uang. "Yang diomongin siapa, dapat apa dan berapa," ujarnya.
Baca: Siapa Gantikan Setya Novanto di Golkar, Ali Ngabalin: Saya Dong
Sarwono pun teringat pada 2004, saat Golkar dinilainya mulai mengalami masa suram. Sarwono menyebut Golkar kehilangan moralitas politik dan memicu minggatnya kader-kader potensial asal Sekretariat Bersama Golkar, organisasi cikal bakal partai tersebut.
Anggota Dewan Penasihat DPP Golkar periode 2004-2009 Fahmi Idris berpendapat senada. Fahmi menilai, pengurus Golkar di tingkat pusat kurang memiliki kematangan politik seperti pendahulu mereka.
Pada masanya, kata Fahmi, wajar sesama elit partai berdebat dan berdiskusi. Sekarang, anak muda gagap bicara politik karena tidak lagi mendapat edukasi politik.
Fahmi pun memaklumi apabila kini Golkar disebut-sebut sebagai partai paling korup di Tanah Air. Menyitir data Indonesia Corruption Watch, dia menyebut setidaknya 16 kader Golkar di pusat dan daerah terjaring Komisi Pemberantasan Korupsi. “Ini memukul sekali bagi marwah partai kami,” kata Fahmi.
Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto saat ini telah ditahan oleh KPK. Ia menjadi tersangka keenam dalam kasus korupsi e-KTP yang merugikan negata Rp 2,3 triliun. Statusnya tersebut membuat Golkar didesak untuk segera mengganti pucuk pimpinan partai.