TEMPO.CO, Jakarta - Dosen hukum tata negara Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang, Refly Harun, mengatakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bisa menyidik Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Setya Novanto, yang diduga terlibat korupsi. Menurut dia, hak imunitas anggota Dewan terbatas jika yang bersangkutan melanggar hukum.
Refly menuturkan hak imunitas hanya berlaku saat anggota menjalankan tugas dan kewajibannya. Tapi saat itu pun ada pengecualian yang membuat hak ini tidak bisa melekat andai anggota melanggar peraturan. "Hak imunitas tidak pernah berlaku untuk kasus korupsi. Apalagi kasus korupsi yang disidik KPK," katanya saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa, 14 November 2017.
Sebelumnya, pengacara Setya Novanto, Fredrich Yunadi, mendaftarkan uji materi Pasal 46 ayat 1 dan 2 Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Pasal ini mengatur mekanisme pemeriksaan tersangka.
Fredrich menyatakan pasal tersebut berlawanan dengan konstitusi Pasal 20A Undang-Undang Dasar 1945 tentang Imunitas Anggota DPR. Menurut dia, dengan adanya hak imunitas ini, anggota DPR tidak dapat diperiksa.
Setya Novanto ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada 17 Juli lalu. Namun status ini gugur ketika hakim tunggal sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Cepi Iskandar, memenangkan gugatan Setya Novanto.
Sejak itu, KPK beberapa kali memanggil Setya Novanto untuk diperiksa sebagai saksi. Namun tidak sekali pun Ketua Umum Partai Golkar itu datang.
Menurut Refly Harun, KPK punya wewenang melakukan penyidikan kepada siapa pun di negeri ini dalam kasus korupsi. "Tidak peduli apa jabatannya sekalipun Presiden RI," ucapnya.