Juru bicara Komisi Pemberantasan Korupsi Febri Diansyah memberi keterangan terkait pemeriksaan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly dalam kasus korupsi pengadaan e-KTP di Gedung KPK, Jakarta, 3 Juli 2017. Tempo/ Arkhelaus W.
TEMPO.CO, Jakarta - Juru bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Febri Diansyah, mengklaim lembaganya tak mengetahui pihak mana yang membocorkan surat perintah dimulainya penyidikan (SPDP) terhadap Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Setya Novanto. Febri memastikan surat tersebut tidak disebarkan pihak internal KPK.
Febri juga tidak banyak menanggapi ketika ditanya apakah yang membocorkan SPDP adalah pihak yang menerima surat, dalam hal ini Setya Novanto dan kuasa hukum. "Sumbernya dari mana, saya tak bisa sampaikan," kata Febri di gedung KPK, Jakarta Selatan, Selasa, 7 November 2017.
Sebelumnya, SPDP KPK terhadap Setya Novanto ramai tersebar. Surat tersebut diteken langsung Direktur Penyidikan KPK Aris Budiman pada 3 November 2017. SPDP tersebut juga mencantumkan tanggal penerbitan surat perintah penyidikan (sprindik) untuk Setya tertanggal 31 Oktober 2017.
Febri tak membantah keberadaan sprindik dan SPDP tersebut. Ia membenarkan KPK memang telah membuka penyidikan baru kasus kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP), bahkan menetapkan satu orang baru sebagai tersangka. "Info lain yang lebih teknis belum bisa kami konfirmasi," ujarnya.
Febri menyebut, setelah sprindik diterbitkan, KPK juga harus menerbitkan SPDP. "Paling lambat tujuh hari kerja."
Tembusan SPDP tersebut kemudian ditujukan kepada tersangka, pelapor, dan korban. Menurut dia, hanya ada satu sprindik lembar SPDP yang diterbitkan KPK.
Dalam sprindik tersebut disebutkan Setya Novanto menjadi tersangka dalam kasus korupsi e-KTP. Sebelumnya, pengacara Setya Novanto, Fredrich Yunadi, seperti dikutip Antara, membantah telah menerima surat itu.
Adapun Sekretaris Jenderal Partai Golkar Idrus Marham tak mau berkomentar karena belum mendapat informasi resmi dari KPK terkait dengan SPDP untuk Setya Novanto.