Alumni presidium 212 bersama Komisioner Komnas HAM Natalius Pigai saat mengikuti Aksi 287 di dekat Patung Kuda Arjuna Wiwaha, sekitaran Monas, Jakarta, 28 Juli 2017. Aksi 287 digelar untuk memberikan dukungan kepada Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang dibubarkan pemerintah menggunakan Perpu Ormas. TEMPO/Rizki Putra
TEMPO.CO, Jakarta - Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) mempertanyakan pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan menjadi undang-undang. Juru bicara HTI, Ismail Yusanto, mengatakan pengesahan itu menunjukkan politik transaksional yang mengabaikan alasan rasional, baik secara formal maupun materiil.
"Dari sisi formal, tidak ada satu pun alasan hukum rasional yang bisa diterima atas terbitnya Perpu itu," kata Ismail melalui pesan pendek, Rabu, 25 Oktober 2017. Menurut dia, tidak ada kegentingan memaksa.
Dari sisi materiil, menurut Ismail, banyak sekali pasal bermasalah dalam aturan baru itu. Misalnya, penghilangan kekuasaan kehakiman atau pembubaran ormas tanpa melalui pengadilan, adanya pasal karet multitafsir, seperti Pasal 59 ayat 4 butir c tentang paham yang bertentangan dengan Pancasila, serta adanya pemidanaan seumur hidup.
Ismail menyebut pengesahan Perpu Ormas menjadi undang-undang merupakan hal menyedihkan. Sebab, mayoritas ormas yang diundang untuk rapat dengar pendapat umum dengan Komisi Pemerintahan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan menolak Perpu itu. Beberapa ormas yang menolak di antaranya Muhammadiyah, Persatuan Islam (Persis), Al Washliyah, Ikatan Dai Indonesia (Ikadi), dan Front Pembela Islam (FPI). "Artinya, rakyat menolak. Lha, mereka kok menerima. Jadi mereka itu mewakili siapa?" ujar Ismail.
DPR menyetujui dan mengesahkan Perpu Ormas menjadi undang-undang dalam rapat paripurna yang berlangsung kemarin. Pembahasan Perpu itu dimulai pada Juli lalu setelah Parlemen menerima salinan dari Presiden Joko Widodo.
Pemerintah menerbitkan Perpu itu dengan dalih melindungi kedaulatan negara dari kelompok yang mengembangkan ideologi anti-Pancasila. Dengan aturan itu, pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri atau Kementerian Hukum dan HAM dapat langsung membubarkan ormas terkait tanpa melalui pengadilan, berbeda dengan ketentuan sebelumnya yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas. HTI adalah ormas pertama yang dibubarkan dengan dasar Perpu itu.
Menurut Ismail, pengesahan Perpu Ormas bakal membuka lebar lahirnya rezim represif. Ia mempertanyakan dalih "merawat kebinekaan" yang disampaikan pemerintah. "Setelah ini entah ormas mana lagi? Bukannya adanya ormas-ormas itu juga merupakan bagian dari kebinekaan?"