Cerita Dianah dan Kisah Rekonsiliasi Kultural Korban 1965
Reporter
Pito Agustin
Editor
Widiarsi Agustina
Sabtu, 30 September 2017 23:04 WIB
TEMPO.CO, YOGYAKARTA -- Tak mudah membangun rekonsiliasi korban 1965 dengan masyarakat. Diana Karmilah, 41 tahun, peneliti Syarikat Indonesia menuturkan bagaimana kendala membangun kerekatan kembali hubungan para korban kekerasan 1965, juga dengan masyarakat sekitarnya.
Sebelum bergabung dengan Syarikat Indonesia, Diana aktif di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Syarikat (Masyarakat Santri untuk Advokasi Rakyat) Indonesia didirikan oleh aktivis muda Nahdlatul Ulama (NU) yang mulai aktif pada 2000 karena tergerak oleh ide rekonsiliasi nasional yang dilontarkan mantan Ketua Umum PB NU Abdurrahman Wahid saat menjadi Presiden (1999-2001).
Para aktivis muda NU itu pun berjejaring dengan organisasi non politik lainnya yang mempunyai kepedulian yang sama yang tersebar lebih dari 20 kota di Jawa, Bali, dan Sulawesi. Kegiatan mereka mulai dilakukan pada 2003.
BACA: Jaksa Agung: Rekonsiliasi Satu-satunya Solusi Tragedi 1965
Di Syarikat, tugas Dianah membantu proses rekonsiliasi kultural awalnya adalah mendatangi, mewawancarai, dan mengumpulkan ibu-ibu yang terlibat maupun yang dituding terlibat PKI. Setidaknya ada lima ibu bekas tahanan di Plantungan yang ditemuinya. "Saya tinggal bersama mereka. Ikut memasak. Menjalankan kegiatan mereka sehari-hari," kata Dianah.
Forum rekonsiliasi kultural pertama kali di Jawa Barat digelar di Gedung Kartini di Bandung tahun 2003. Pesertanya dari eks PKI maupun yang di-PKI-kan, para kyai, dan PMII. Pertemuan pertama itu berjalan lancar. Mereka bisa duduk bersama dan saling bercerita satu sama lain.
Dalam forum itu, seorang lelaki eks Barisan Tani Indonesia (BTI) bercerita bagaimana perjuangannya membaur dengan masyarakat. Lelaki ini dibully Ustad di masjid di daerah tempat tinggalnya. Bermula ketika laki-laki itu akan menunaikan ibadah salat Jumat, namun urung karena saat akan masuk masjid, tiba-tiba khotib yang tengah berkotbah berteriak. "Awas! Di antara kita ada PKI!"
BACA : G30S 1965 dan Gagasan Membangun Rekonsiliasi di Basis PKI
Kisah itu membuat banyak orang yang hadir terperangah. Termasuk Kyai yang hadir dalam forum rekonsiliasi, ikut kaget mendengarnya. Forum itu pun berlangsung lancar selama tiga hari. Semua mendengarkan dan menerima. "Tidak ada penolakan dari peserta maupun pihak lain. Karena kami sudah biasa sowan kyai sebelumnya," kata Diana sembari menambahkan Imam Azis, salah satu pendiri Syarikat Indonesia,jauh hari telah mengunjungi sejumlah pesantren di Jawa dalam rangka rekonsiliasi itu.
Penolakan justru terjadi saat forum rekonsiliasi kultural pada 2006. Awalnya, acara akan digelar di Gedung Seni Bandung. Namun tiga hari sebelum hari H, Dianah yang menjadi ketua panitianya didatangi intel yang menanyakan rencana pertemuan. Akhirnya, pertemuan digelar di Wisma Brantas. Mayoritas peserta, 45 dari 75 peserta adalah perempuan yang dituding PKI. Mereka datang dari Cirebon, Cianjur, Indramayu, Garut, Kabupaten Bandung, Kota Bandung, dan Tasikmalaya.
Acara dengan tema Pasamuan Perempuan Tangguh itu baru dibuka dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya dan pembacaan Al Quran oleh ibu-ibu penyintas ketika tujuh truk berisi ratusan orang datang. Mereka mengenakan seragam serba hitam dan sebagian lagi adalah personel polisi. "Kami panik. Tapi justru para penyintas yang sudah tua-tua itu yang menenangkan," kata Dianah.
BACA:Tudingan PKI dan Cerita Histeria Tiap 30 September
Mereka membubarkan acara. Para peserta yang sepuh-sepuh itu dievakuasi. Lima orang yang terdiri dari panitia dan peserta dari PMII diangkut ke kantor polisi dan diperiksa.
Sepanjang hari hingga larut malam, mereka dicecar pertanyaan dan diintimidasi. Dianah mengingat pertanyaan mereka. "Pasamuan itu bahasa PKI ya?" Mereka seperti tak tahu, Pasamuan adalah bahasa Sunda yang berarti pertemuan.
Dianah yang saat itu tak berkerudung dan berambut pendek pun dirisak polisi. "Kalau PKI itu rambutnya kayak cowok gini ya," kata polisi.
Sekitar pukul 01.30, mereka dilepas setelah pengurus Syarikat melakukan advokasi. Meski bebas, mereka masih diintimidasi melalui pesan singkat. Yang lelaki mendapat pesan ancaman, yang perempuan seperti Dianah dikirimi pesan mesum. "Bahasanya kasar. Ngajak mesum," kata Dianah yang akhirnya mengganti nomer telepon selulernya.
BACA:Hasil Riset: Mengapa Banyak Orang Dituding Ikut PKI Usai 1965
Penyintas lainnya pun ada yang tak lagi diperbolehkan untuk melakukan aktivitas bersama penyintas lainnya oleh keluarganya. Dianah yang rutin menyambangi pun dilarang untuk menghubunginya. Sejak itu, proses rekonsiliasi di Jawa Barat tersendat. Pun juga pendampingan karena para aktivisnya memilih terjun menjadi anggota DPR atau DPRD.
Dianah pun pindah ke Yogyakarta sejak 2009 lalu dan melanjutkan kegiatan advokasi di Syarikat Indonesia dan lembaga swadaya masyarakat lainnya.
PITO AGUSTIN RUDIANA