TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Senior Founding Fathers House (FFH) Dian Permata menduga ada penyalahgunaan wewenang aparatur desa dalam pemilihan umum serentak 9 Desember mendatang. "Lihat kenapa serapan dana desa baru ada Desember, ini kan menarik," kata Dian dalam acara ‘Menakar Aktivitas Politik Uang’ pada Pelaksanaan Kampanye Pasangan Calon dalam Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, di Jakarta pada Kamis, 5 November 2015.
Dari hasil survei FFH dengan tingkat kepercayaan 95 persen dan metode Kisah Garis, di Lamongan dan Mojokerto, Jawa Timur menunjukkan bahwa aparatur desa merupakan sumber informasi Pemilukada bagi warga. Hal ini menurut Dian harus ditelaah karena persentasenya berbeda dengan Pemilu sebelumnya, yakni Pemilu Legislatif.
Di Lamongan, aparatur desa menempati posisi keempat dalam perolehan informasi terkait pilkada, yakni 13,5 persen. Sementara itu, di Mojokerto menempati posisi kedua sebesar 13 persen.
Hal yang berbeda justru terjadi pada Pemilu tidak serentak. Pada pemilu di DKI Jakarta misalnya, aparatur desa hanya memegang persentase sebesar 2,05 persen. Sementara, di Brebes persentasenya lebih rendah, yakni 1,3 persen.
Dian mencurigai adanya hubungan di sini. Ia menilai adanya Pilkada sering kali linear dengan perbaikan infrastruktur dan dana desa. Hal lain yang harus diperhatikan dan diwaspadai adalah banyaknya calon kepala daerah incumbent. Ini harus diberikan pengawasan yang lebih. Hal ini karena mereka mengetahui seluk-beluk APBD.
Serupa dengan Dian, Wakil Sekretaris Jenderal sekaligus Koordinator KIPP (Komite Independen Pemantau Pemilu) Girindra Sandino juga mengungkapkan ada hubungan yang harus ditelisik antara dana desa dan Pemilukada. Dana desa sekitar 80 persen masuk ke rekening pemerintah kabupaten.
Penyaluran yang terpusat menyebabkan tidak adanya kontrol dari masyarakat. Akibatnya, muncul potensi penyelewengan oleh petahana. "Untuk membedah permasalahan dana desa ini akarnya memang paket kebijakan ekonomi," ujar dia.
Dalam laporan Indeks Kerawanan Pilkada tahun 2015 yang disusun oleh Bawaslu, politik uang memang masih menjadi sorotan. Meski dalam laporan ini belum menjelaskan dana desa, perlu diketahui bahwa politik merupakan hal yang selalu ditemukan dalam Pilkada.
Laporan ini mengambil data dari bulan Mei hingga Juli 2015. Data ini bersumber dari hasil pengawasan, Badan Pusat Statistik, Komisi Pemilihan Umun, Potensi Desa, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP).
Dari hasil evaluasi terdapat lima wilayah dengan indeks kerawanan pencucian uang tertinggi. Wilayah tersebut adalah Sulawesi Tengah dengan indeks 3,5 dan Jawa Barat 3,3. Sementara dengan indeks 3,0 terdapat di beberapa lokasi, yaitu Kalimantan Utara, Nusa Tenggara Barat, dan Banten.
MAWARDAH NUR HANIFIYANI