TEMPO.CO, Jakarta - Polisi dianggap abai terhadap kasus kekerasan yang berujung maut terhadap Salim alias Kancil, juga Tosan, dua warga Desa Selok Awar-awar, Lumajang, yang terjadi pada 26 September 2015. Menurut Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Salim dan Tosan ditemani warga desa lainnya menyambangi kantor Kepolisian Resor Lumajang untuk meminta perlindungan pada 15 hari sebelum kejadian.
"Sebab tanggal 10 September, Salim dan Tosan diancam akan dibunuh oleh sekelompok preman bersenjata celurit dan bondet (bom ikan)," kata Manajer Kampanye Jatam Ki Bagus Hadikusumo ketika dihubungi Tempo, Rabu, 30 September 2015.
Sayangnya Polres Lumajang tak memberikan tanggapan terkait dengan laporan itu. Menurut Bagus, Polres Lumajang hanya mengeluarkan surat pemberitahuan nama-nama penyidik yang bertugas mengusut ancaman pembunuhan tersebut.
Jaringan Advokasi Tambang pun mendesak Badan Reserse Kriminal Polri mengambil alih kasus pembunuhan Salim. Alasannya, Bagus dan kawan-kawannya tak percaya dengan upaya penyidikan yang dilakukan oleh Polres Lumajang.
"Sebab baru menyidik Polres sudah nyatakan kalau pengeroyokan itu konflik horizontal dan tindakan spontan masyarakat," kata Bagus. "Kami harap Bareskrim bisa usut sampai otak pembunuhan Salim."
Polres Lumajang telah menetapkan 22 tersangka dalam kasus pembunuhan Salim Kancil. Dari 22 tersangka, Polres Lumajang menahan 20 orang. Dua tersangka lainnya tak ditahan lantaran berusia 16 tahun. Polisi mengenakan pasal yang berbeda kepada 22 tersangka tersebut.
Enam orang dari 22 orang tersangka akan dikenakan Pasal 170 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang pengroyokan, sedangkan sebanyak 14 orang tersangka akan dikenakan Pasal 340 KUHP yang akan di-juncto-kan dengan Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan.
INDRA WIJAYA