TEMPO.CO, Bandung -Gerakan Mesjid Salman Institut Teknologi Bandung (ITB) dihimbau untuk mengembalikan misi keagamaan yaitu menyempurnakan akhlak manusia atau ‘Salman Profetis’ dengan mempertajam gerakan pendidikan dan ekonomi rakyat. Hal tersebut disampaikan Pemikir Islam senior Dawam Rahardjo dalam seminar memperingati 50 Tahun Masjid Salman, di Gedung Serba Guna Atas Salman ITB, Kamis, 4 Juli 2013.
“Ke depan, Salman harus menekankan pendidikan yang holistic, bersama dengan gerakan ekonomi yang mampu membebaskan manusia menjadi manusia yang utuh menuju insan kamil,” kata Dawam.
Mengusung tema ’Refleksi untuk Menyongsong Era Kebangkitan Islam’, seminar yang digelar Keluarga Alumni Salman (Kalam) dan Yayasan Pembina Masjid (YPM) Salman ITB itu diikuti oleh ratusan peserta. Juga menghadirkan tokoh pemikir Islam yang lain seperti Yudi Latif, Zuhairi Misrawi, dan Fachri Ali.
Ketua Badan Pelaksana Masjid Salman Syarif Hidayat mengatakan , Masjid Salman telah menorehkan sejarah sebagai pelopor gerakan dakwah kampus di Indonesia. Gerakan tersebut dicirikan oleh pemikiran kritis dan semangat pembaharuan dalam berbagai aspek kehidupan, yang ikut mewarnai dinamika keislaman Indonesia pada era 1970-an sampai dengan 1990-an. Namun, memasuki abad ke-21, Masjid Salman menghadapi krisis peran.
“Peran dakwah intelektualnya telah memudar. Salman bagai tak mampu lagi menjawab aneka problem kekinian, tak lagi menjadi model gerakan dakwah kampus, ” kata Syarif.
Pemikir muda Islam Yudi Latif mengatakan, dari hasil survey yang dilakukan beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia saat ini jauh lebih taat beribadah dibanding pada dekade 1950-an.
Menurut dia, fakta yang terangkat sejumlah survey terakhir tak lepas dari peran besar yang dimainkan Salman pada decade dekade lalu. Dari hasil Survei Nasional Reform Institute belum lama ini menemukan rata-rata 73 persen dari total pendukung 10 partai terbesar menyatakan selalu menjalankan ibadah.
Dengan gambaran tersebut, sulit melakukan kategorisasi aliran kepartaian berdasarkan ketaatan keagamaannya, seperti dalam tipologi Clifford Geertz. "Akibatnya pengikut partai-partai Islam maupun partai nasionalis memiliki tingkat ketaatan beribadah yang relatif sama” kata Yudi.
Namun, fakta masih merebaknya korupsi menunjukkan bahwa agama hanya sebatas iymbol yang terpisah dari perilaku keseharian masyarakat. Menurut Yudi, gerakan umat Islam ke depan haruslah berkorelasi dengan tantangan mendasar umat Islam saat ini, yaitu heterogenitas dan divergenitas nilai-nilai yang luar biasa. Umat Islam tidak seharusnya gagap manakala nilai-nilainya berbenturan dengan aneka nilai lain.
“Seharusnya, umat Islam mampu mengelaborasi Islam kita yakini kaffah atau sempurna itu untuk menjawab lautan nilai yang membanjir saat ini,” ujarnya.
RISANTI