TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Muhammad Yusuf menjadi doktor bidang hukum setelah mempertahankan disertasinya pada Sidang Terbuka Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung, Senin, 10 Desember 2012. Yusuf dinyatakan lulus dengan yudisium cum laude dengan disertasi berjudul "Perampasan Aset tanpa Tuntutan Pidana".
Menurut Yusuf, perampasan aset tanpa tuntutan pidana atau non conviction based (NCB) merupakan jalan keluar atau terobosan untuk mengembalikan uang negara yang dikorupsi. Cara itu sesuai konvensi PBB tentang antikorupsi pada 2003. "Korupsi di Indonesia sudah sampai pada titik nadir. Koruptor tak punya lagi rasa malu," kata Yusuf, Senin, 10 Desember 2012.
Dengan terobosan hukum ini, aset yang diduga hasil korupsi bisa diusut walau terdakwanya bebas, tersangkanya kabur ke luar negeri, atau telah meninggal dunia. "Bahkan aset di luar yang disebut dalam putusan pidana bisa tetap dirampas," ujarnya.
Sekarang, ketentuan pasal 54 ayat 1 dari United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) itu menjadi acuan dalam Rancangan Undang-Undang tentang Perampasan Aset Tindak Pidana. Perampasan aset koruptor bisa dilakukan walau tersangka atau terdakwa meninggal, kabur, sakit permanen, atau tidak diketahui keberadaannya.
Begitu pula jika terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan, perkara pidananya belum atau tidak dapat disidangkan, dan barang temuan yang diduga berasal dari tindak pidana.
Selain itu, kasus kedaluwarsa yang akan dibuat rentangnya selama 30 tahun dan sudah berkeputusan tetap masih bisa disita asetnya. Ada juga aturan kalau duit korupsi itu diberikan kepada pihak ketiga, seperti istri dan anaknya. "Mereka tidak berbuat pidana, cuma menikmati. Itu bisa juga diproses (asetnya)," kata dia.
Sementara ini, Yusuf mengaku ragu apakah RUU ini bisa terus dibahas di DPR. Sebab, 18 anggota Badan Anggaran yang kini sedang berkasus bisa langsung terjerat. "Sampai sekarang saya masih berpikir dan mencari informasi bagaimana cara meyakinkan parlemen," katanya dalam sidang saat menjawab pertanyaan ke promotor Yunus Husein.
Sementara menunggu RUU tersebut, Yusuf dan salah seorang dosen pengujinya, Prof Komariah, yang masuk dalam kelompok kerja Mahkamah Agung, sedang merumuskan hukum acara untuk Pasal 67 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Peraturan Mahkamah Agung itu memungkinkan setiap transaksi yang tidak jelas siapa pemiliknya bisa dirampas tanpa menunggu orangnya dihukum. "Peraturan itu targetnya 1-2 bulan (selesai)," ujarnya.
Dari hasil penelitiannya, sampai sekarang ada 42 perkara di kepolisian, kejaksaan, dan KPK, dengan total kerugian negara sebesar Rp 10,9 triliun yang tidak bisa diambil, seperti karena tersangka atau terdakwa koruptornya lari atau meninggal. "Dengan pendekatan hukum yang sekarang ini tidak bisa. Maka perlu ada aturan perampasan aset itu," katanya.
Adapun soal pembekuan aset mantan Menteri Olahraga Andi Malarangeng, PPATK menyatakan siap membantu. "Kita menunggu permintaan saja dari KPK. Bantuannya bagaimana aset-aset itu," katanya.
Sebelumnya, PPATK sudah menyerahkan 10 hasil temuan aliran uang dari perusahaan dan perorangan terkait kasus Hambalang. Apakah termasuk data transaksi Andi? "Pokoknya yang disebut KPK itu sudah ada (laporannya)," kata Yusuf.
ANWAR SISWADI
Berita terpopuler lainnya:
Andi Mallarangeng Terkenal Kikir
Bupati Aceng Nikahi Shinta, Pestanya Meriah
Gaya Mewah Djoko Susilo, Nunun, dan Miranda
Kemenangan Zaki Ubah Peta Politik Keluarga Atut
Mubarok Akui Partai Demokrat Semrawut