TEMPO Interaktif, Jayapura - Ketua DPR Papua, Jhon Ibo meminta maaf kepada seluruh masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Papua dan Mimika, terkait beredarnya surat berkop DPR Papua dengan nomor 560/2065 tertanggal 6 Oktober 2011. Surat penegasan DPRP atas tindakan manajemen PT. Freeport Indonesia terhadap karyawan yang mogok kerja itu, dianggap menjadi pemicu bentrok berdarah antara karyawan dan polisi Timika.
“Surat yang ditujukan ke PT FI itu illegal dan tak sah. Sebab saya tak pernah menekennya dan kalau pun ada cap DPRP dan tanda tangan saya, itu semua palsu. Apalagi saya juga tak ikut pertemuan dan tak berada di Kota Jayapura saat surat diterbitkan pada 6 Oktober 2011 lalu,” kata Jhon di Kantor DPR Papua, Senin 11 Oktober 2011 sore waktu setempat.
Bentrok antara karyawan PT Freeport yang mogok dan polisi tak bisa terelakkan. Bentrok terjadi setelah karyawan merangsek masuk ke areal perusahaan itu. Seorang karyawan tewas ditembak. Jenazah Petrus Ayemiseba masih disemayamkan di Gedung DPRD Mimika. Ribuan karyawan tetap menuntut pihak terkait bertanggung jawab atas terbunuhnya rekan mereka.
Menurut Jhon, surat rekomendasi itu telah memicu semangat ribuan karyawan yang mogok kerja sejak 15 September lalu, menerobos masuk areal perusahaan Freeport. Sebelum bentrok terjadi, kata dia, dirinya menerima informasi ribuan karyawan memaksa masuk ke areal perusahaan dengan menyatakan telah didukung DPR Papua. Akibatnya, bentrok tak terelakkan. "Banyak pihak menuding saya sebagai provokator,” katanya.
Surat itu berisi peringatan kepada manajemen Freeport supaya menyelesaikan persoalannya dengan karyawan dengan mengedepankan musyawarah mufakat secara internal. Freeport diminta segera menghentikan penerimaan karyawan baru untuk mengganti karyawan yang mogok. Freeport membayar seluruh upah karyawan mogok, serta menghentikan sementara proses operasional perusahaan sampai tercapainya suatu kesepakatan final.
Baca Juga:
DPR Papua seharusnya tak dalam kapasitas menghentikan operasi PT. FI. Alasannya perusahan itu memiliki kontrak karyanya dengan pemerintah pusat, sehingga menjadi wewenang negara.
Ketua Komisi A DPR Papua, Ruben Magai mengakui, konsep surat itu memang lahir dari pertemuan pada 6 Oktober 2011 di kantor DPR Papua, Jayapura. Konsep itu diserahkan ke Sekretaris DPR Papua untuk diregister dan diteken Ketua DPR Papua. Setelah ditandatangani dan diberi register, barulah surat dikirim kepada yang terkait seperti tujuan surat itu.
"Jadi saya juga kaget, ternyata surat itu bukan ditandatangani Ketua,’’ kata dia, Selasa 11 Oktober 2011. Ruben mengatakan, terlepas dari surat itu bukan ditandatangani Ketua DPR Papua atau tidak, Freeport harusnya tak bertindak sewenang-wenang dan menyalahi aturan.
CUNDING LEVI