"Pengadilan Tinggi memberikan vonis sama dengan yang diputuskan oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, termasuk denda dan uang penggantinya juga sama," ujar Juru Bicara Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, Madya Suhardja saat dihubungi Tempo, pagi tadi (29/4).
Putusan banding yang dikeluarkan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta pada Senin lalu (27/4) itu memiliki pertimbangan, bahwa Izzat Husein tetap harus mempertanggungjawabkan perbuatannya secara personal, meskipun posisi Izzat saat membuat kesepakatan dengan rekanan Bupati Lombok Barat diwakili PT Valindo Lombok Inti.
"Walaupun kesepakatan dibentuk atas nama PT, tapi pertanggungjawaban pribadi perbuatan melawan hukum tetap pada orangnya," ujar Madya, yang segera menjabat Wakil Ketua Pengadilan Negeri Tingkat I Palembang.
Alasan itu pula yang membuat putusan ini menuai disenting opinion. Dua hakim, yaitu Hadi Widodo dan Abdurrahman Hasan menyatakan, bahwa posisi Izzat dalam kesepakatan dengan Iskandar bukanlah sebagai pribadi melainkan sebagai korporasi.
Pengadilan juga tetap menganggap Izzat melanggar pasal pasal 2 ayat (1) Jo Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, seperti yang tercantum dalam putusan Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada 9 Februari 2009.
Izzat Husein adalah Direktur Utama PT Varindo Lombok Inti yang menjadi rekanan Bupati Lombok Barat, H. Lalu Iskandar dalam proyek tukar guling 13 unit kantor Pemerintah Kabupaten Lombok Barat di Jalan Sriwijaya Mataram tahun 2005.
Izzat mengajukan proposal tukar guling aset senilai Rp 32,8 Miliar, atas perintah Bupati itulah proposal disetujui. Jumlah nilai proposal itulah yang diperkirakan terlalu besar. Berdasarkan perhitungan Dinas Kimpraswil, nilai itu memiliki selisih hingga Rp 13,8 Miliar.
CHETA NILAWATY