Pemerintah Didesak Ratifikasi Perjanjian Pengadilan Kejahatan
Reporter
Editor
Rabu, 9 Mei 2007 08:17 WIB
TEMPO Interaktif, Jakarta:Lembaga Swadaya Masyarakat Ikatan Orang Hilang (IKOHI) mendesak pemerintah meratifikasi perjanjian International Criminal Court (ICC) atau Pengadilan Kejahatan Internasional. Alasannya, mekanisme pengadilan ICC dapat menghilangkan impunitas (pengampunan) bagi para pelaku kejahatan hak asasi manusia. Para pelaku kejahatan tetap dapat diadili di pengadilan internasional meski pemerintah Indonesia tak mau atau tak mampu mengadili pelaku kejahatan.Dalam siaran pers yang diterima Tempo, Koordinator Kampanye dan Advokasi IKOHI, Simon, mengatakan pemerintah belum serius menangani kasus pelanggaran hak asasi. Ketidakseriusan itu ditunjukkan dengan masih banyaknya kasus pelanggaran hak asasi yang belum tuntas.IKOHI menilai, perangkat hukum yang ada di Indonesia sebenarnya sudah memenuhi syarat untuk menyelenggarakan pengadilan hak asasi. Apalagi, sudah ada Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi. Tapi, lembaga pengadilan yang ada seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia belum berjalan maksimal. Banyak korban pelanggaran hak asasi yang belum memperoleh kembali hak mereka.ICC mulai terbentuk pada 17 Juli 1998 dalam konferensi diplomatik Perserikatan Bangsa Bangsa di Roma. Konferensi ini menghasilkan perjanjian multilateral yang sekarang disebut sebagai Statuta Roma. Saat ini, sudah 139 negara yang menandatangani statuta tersebut. Dari jumlah itu, sudah 60 negara yang meratifikasi perjanjian ini.ICC kini berkantor di Den Haag dengan tiga organisasi utama, yaitu jaksa penuntut, hakim, dan catatan sipil. ICC menjadi lembaga permanen yang tak dibatasi oleh waktu dan tempat.Pemerintah sendiri sebenarnya akan meratifikasi perjanjian ICC pada 2008. Walau agak terlambat, Ikohi mendukung langkah pemerintah. Hanya saja, seluruh elemen masyarakat juga harus mendukung dan mengupayakan supaya pemerintah benar-benar meratifikasi perjanjian ini. Pramono