Pertemuan kedua digelar pertengahan Juni. Namun komisi gabungan yang dibicarakan dalam rapat pertama malah tak dibahas. Tak berlangsung lama, pertemuan itu tanpa hasil. Menteri Tedjo lalu berinisiatif menyelenggarakan pertemuan ketiga pada awal Juli. Kepala Polri absen, tapi Panglima TNI saat itu, Jenderal Moeldoko, pertama kalinya hadir. Saat itulah Menteri Tedjo menceletuk, “Apa kita mau gini-gini saja?”
Menurut salah seorang peserta persamuhan, Tedjo mengemukakan gagasan untuk membentuk Komite Kebenaran dan Rekonsiliasi. Komite itu kelak berada di bawah pengawasan Presiden Jokowi langsung. Komite diisi perwakilan korban, purnawirawan TNI dan polisi, serta pihak independen.
Tahap pertama, Komite menggali fakta kejahatan hak asasi masa lalu. Komite bisa memanggil korban dan pelaku. Hasil investigasi lalu disampaikan kepada presiden. Kedua, negara mengakui kesalahannya. Presiden akan mengungkapkan penyesalan dan mengakui negara abai atau, bahkan, terlibat dalam kejahatan HAM masa lampau. Permintaan maaf akan disampaikan dalam pidato kenegaraan pada perayaan kemerdekaan Indonesia.
Ditanya lagi soal isi pertemuan ketiga, Menteri Tedjo membantah ketika disebut sebagai inisiator pembentukan Komite. Menurut dia, Komite Kebenaran dan Rekonsiliasi usulan Komnas HAM belaka. “Ide dari Komnas HAM dan disetujui oleh seluruh yang hadir,” kata Tedjo.
Sebenarnya, gagasan Menteri Tedjo bisa langsung diterapkan. TNI, sebagai institusi yang paling banyak dikaitkan dengan kasus-kasus HAM, tak berkeberatan kasus hak asasi masa silam segera dituntaskan. “Jangan lagi perasaan dendam ada terus karena mengganggu perjalanan besar negara,” kata Moeldoko—saat itu Panglima TNI.
Namun hingga kini belum jelas kasus mana saja yang akan dituntaskan Komite Kebenaran. Orang-orang yang bakal duduk di Komite pun belum ditentukan. Jaksa Agung Prasetyo mengatakan sedang mengkaji kasus mana saja yang akan diselesaikan lewat Komite. “Kemungkinan, kasus di bawah tahun 2000 diselesaikan dengan pendekatan non-yudisial,” kata Prasetyo. Kejaksaan menganggap berkas enam kasus hasil penyelidikan Komnas HAM, termasuk tragedi 1965 dan penculikan aktivis pada 1998, kurang bukti.
Mugiyanto dan Bedjo tak setuju bila kasus hak asasi dituntaskan tanpa proses hukum. “Harus ada proses pengadilan dan pelurusan sejarah,” kata Mugiyanto.
LINDA TRIANITA | INDRA WIJAYA
Selanjutnya >> Daftar Utang Masa Lalu