Sejumlah keluarga Sunni yang mengungsi dari desa Albu Ajil dan Al-Dor karean pertempuran Negara Islam (ISIS) dan tentara Irak di Tikrit, 8 Maret 2015. AHMAD AL-RUBAYE/AFP/Getty Images
TEMPO.CO , Jakarta:Mahasiswa program doktor Universitas Marmara, Turki Muhammad Syauqillah menjelaskan, dirinya hanya menggunakan istilah radikal dan radikalisasi dalam konteks dua pelajar Indonesia di Turki yang telah bergabung dengan kelompok milisi Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) sejak setahun lalu.
"Jadi bukan merujuk pada mahasiswa Indonesia di Turki secara general (umum). Dan, adalah naif saya menyematkan julukan radikal atau label negatif terhadap para pelajar Turki secara umum karena saya juga masih berstatus pelajar di Turki," kata Syauqillah dalam hak jawab dan koreksinya pada pemberitaan di Tempo online berjudul 1000 Pelajar Indonesia di Turki pada tanggal 14 Maret 2015.
Syauqillah menambahkan, dua pelajar Indonesia yang bergabung dengan ISIS adalah pelajar SMA dan mahasiswa semester 1 di salah satu universitas di Turki. "Mereka sudah pergi ke Suriah setahun lalu," ujarnya. Kabar tentang keduanya tidak dapat lagi diakses karena keduanya sudah tidak dapat dihubungi.
Selain itu, tentang peran Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Turki, Syauqillah hanya merujuk pada pembinaan khusus pelajar Indonesia di Turki dalam rentang waktu sejak dirinya tiba di Turki, menetap di Izmir untuk beberapa bulan dan tinggal di Istanbul hingga sebelum berdirinya Konjen RI di Istanbul. "Saya hanya mengalami satu kali pertemuan resmi yang digagas oleh KBRI antara pelajar dengan KBRI sebagaimana yang saya alami, yakni pada tahun 2010, tepatnya pada momen memperkenalkan dubes baru. Dan dalam konteks itu, saya menyayangkan pula kondisi tersebut," ujar mantan Ketua Majelis Perwakilan Anggota sekaligus pendiri Perhimpunan Pelajar Indonesia di Istanbul.
Mengenai pemberitaan bertajuk Pelajar Indonesia Radikal, menurut Syauqillah, istilah "mereka" yang terlibat dalam jaringan organisasi Islam radikal di Indonesia selama ini adalah ditujukan bukan mahasiswa Indonesia di Turki secara keseluruhan, bukan pula para pelajar Indonesia di Turki yang sudah bergabung dengan organisasi Islam kanan sebelum datang ke Turki. "Karena banyak pula mahasiswa Indonesia yang datang ke Turki dengan pemahaman Islam kanan yang tidak berangkat ke Suriah untuk bergabung dengan ISIS," kata Syauqillah.
Adapun julukan "Jihad bintang lima", menurut Syauqillah, merupakan sebutan yang sering dipakai oleh milisi ISIS, bukan julukan yang diberikan oleh pelajar Indonesia di Turki. Istilah ini untuk menggambarkan bahwa 'jihad' yang terbaik saat ini adalah perang di Suriah. "Istilah tersebut juga kerap dipakai oleh para milisi untuk melakukan propaganda melalui media sosial," ujar Syauqillah.
Syauqillah mengatakan, penjelasan ini juga untuk memberikan pemahaman yang baik bagi para pelajar dan mahasiswa di Turki tentang pemberitaan pada 14 Maret 2014.